Senin, 30 Juli 2012
EKSKLUSIVISME DAN INKLUSIVISME DALAM AGAMA ISLAM
EKSKLUSIVISME DAN INKLUSIVISME
DALAM AGAMA ISLAM
Oleh
Dr. Ir. Mustafa Abdurrahman, MP
Staf Pengajar Ilmu-Ilmu Sosial pada Fakultas Pertanian
Universitas Nusa Cendana – Kupang
MAKALAH
Disajikan Dalam Acara
DIALOG KERUKUNAN LINTAS AGAMA
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
DI KEFAMENANU, 27 – 29 JULI 2010
PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
SEKRETARIAT DAERAH
Jln. Raya El Tari No. 52 Telp/ Fax (0380) 820130
KUPANG
EKSLUSIVISME DAN INKLUSIVISME DALAM AGAMA ISLAM
Oleh : Mustafa Abdurrahman
I. PENDAHULUAN
Ketika untuk pertamakalinya Kitab Al – Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia, sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa di dunia ini sudah ada bermacam-macam agama. Khususnya di kota Mekkah tempat wahyu ini diturunkan, pada masa itu mayoritas penduduknya menganut kepercayaan warisan leluhur bangsa Arab, yang dalam sejarah Islam disebut kepercayaan Arab Jahilia. Dalam sebuah Hadist yang bersumber dari Zaid bin Thalha, Nabi SAW bersabda ”sesungguhnya agama Islam itu pertama-tama dalam keadaan asing...”. Tentu saja, hal ini terkait dengan pandangan dan sikap hidup umatnya yang berpedoman kepada Al-Qur’an dalam hal-hal tertentu terasa sangat jauh berbeda dengan cara hidup mayoritas penduduk pada umumnya. Sesuai dengan fungsinya, yakni sebagai pengoreksi dan penyempurna terhadap agama - agama yang ada sebelumnya, tentu saja terdapat hal-hal pokok dan spesifik dalam ajaran Islam yang bernuansa eksklusivisme, di samping adanya suasana inklusivisme dalam aspek kehidupan sosial lainnya, baik sebagai bangsa Arab khususnya maupun sebagai umat manusia pada umumnya. Konsekuensi dari koeksistensi agama dalam masyarakat Arab di kota Mekah pada masa itu, adalah para penganut agama lainnya merasa sendi - sendi eksklusivitas agamanya terusik oleh kehadiran Islam. Dampaknya, adalah timbulnya konflik demi konflik hingga akhirnya umat Islam harus ”berhijrah” ke Madinah. Hal ini tercatat sebagai peristiwa penting dalam sejarah Islam.
Islam sebagai suatu agama yang memiliki ajaran yang bersifat universal dan komprehensif, tentunya mengandung unsur-unsur ajaran yang kompleks, dimana pada bagian tertentu terdapat prinsip-prinsip ajaran bersifat eksklusif, dan pada bagian-bagian lainnya lebih bersifat inklusif. Ekslusivisme yang dimaksudkan disini, adalah suatu pandangan dalam agama (Islam) yang meyakini keunggulan dari kebenaran ajaran-ajaran agama yang dianut, sekaligus menegasikan ajaran serupa dari agama lainnya, sehingga ada kecenderungan untuk melahirkan tindakan yang berbeda dan terpisah ketika berkoeksistensi dalam masyarakat plural. Sedangkan inklusivisme, atau istilah paralelisme menurut pihak lainnya, adalah suatu pandangan dalam agama (Islam), yang didasarkan pada prinsip kesejajaran, sehingga mendorong umatnya untuk menggabungkan atau menyatukan diri dengan golongan/kelompok agama lain sebagai suatu kebersamaan dalam masyarakat plural.
Jadi, nuansa eksklusivisme dan inklusivisme agama selalu ada dalam kehidupan sistem sosio-religius yang pluralistik. Fakta sosial ini, memang menarik untuk didiskusikan. Sebab, dalam masyarakat plural, di satu pihak eksklusivisme sering muncul dalam wujud proses-proses sosial yang disosiatif, antara lain dapat menjadi faktor pemicu konflik sosial. Sementara adanya inklusivisme di pihak lainnya, sering muncul dalam proses-proses sosial yang asosiatif, antara lain dapat menjadi faktor perekat dalam membangun kebersamaan. Hal yang terakhir ini, juga berpotensi menjadi social bridging untuk menambal-sulam dan membangun kembali keretakan sosial akibat tindakan eksklusif yang tak terkendali diantara umat dari berbagai agama. .
Dalam rangka membangun kerukunan hidup, khususnya dalam masyarakat yang pluralistis, terutama dari aspek agama, maka kegiatan dialog lintas agama mengenai dimensi-dimensi eksklusivisme dan inklusivisme dalam agama amat diperlukan. Melalui dialog ini, umat dari masing-masing agama bisa saling mengenal dimensi-dimensi eksklusivitas agama selain dari agama yang dianutinya. Dari aspek ini diharapkan adanya perubahan pandangan dan sikap antar para penganut agama yang berbeda, yakni semakin saling menghargai perbedaan dan bersikap toleran terhadap dimensi-dimensi eksklusif dalam ajaran agama pihak lainnya. Dengan cara demikian dapat menekan peluang terjadinya konflik antar umat beragama. Begitu pula dari aspek lainnya, yakni dengan saling mengenal dan memahami dimensi-dimensi inklusivitas dari pihak lainnya, diharapkan dapat membuahkan semangat persamaan dan persaudaraan, serta persatuan; karena ada rasa saling tergantung diantara sesama warga masyarakat yang berbeda agama tersebut. Singkatnya, melalui dialog tentang eksklusivisme agama diharapkan dapat meningkatkan kesadaran terhadap ”kebhinekaan” diantara sesama kita, dan dari inklusivisme dalam agama diharapkan dapat merajut ”keikaan” kita sebagai bangsa yang kaya akan budaya religius dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang bersemboyankan ” Bhineka Tunggal Ika”.
2. EKSKLUVISME DALAM AGAMA ISLAM
Dari catatan sejarah Islam diketahui, bahwa masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan sosial yang berkaitan dengan eksklusivisme sudah berlangsung sejak awal ajaran agama ini diturunkan di kota Mekah. Berkenaan dengan itu dialog lintas agama, yakni antara agama Islam dengan agama lain di kota Mekah, juga sudah mulai berlangsung ketika masa hidupnya Nabi Muhammad SAW. Ternyata, materi dialog yang pernah berlangsung sejak 14 abad yang silam itu masih relevan untuk dibicarakan kembali saat ini. Diyakini pula, sampai kapan dan dimana pun dialog tentang eksklusivisme dalam Islam itu berlangsung, bila narasumbernya mengacu pada Al – Qur’an dan Al- Hadist, maka substansinya tidak mengalami perubahan. Dinamikanya mungkin hanya berada di seputar perbedaan interpretasi historis dan kultural.
Bilamana kompleksitas ajaran agama Islam dipahami dalam konteks hubungan manusia, baik hubungan manusia dengan Tuhannya (hablumminallah) maupun hubungan antar sesama manusia (hablumminannas), maka ajaran yang bersifat eksklusif terutama berbasis pada teologi (tauhid), yakni berkaitan dengan hablumminallah. Di luar itu, eksklusivisme ditemukan secara terbatas pada beberapa hal saja menyangkut hubungan antar sesama manusia.
Eksklusivisme berakar pada sendi (rukun) Islam yang pertama, yakni Asy-syahadatain : Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Sendi ini merupakan pintu gerbang ajaran Islam. Setiap orang yang secara ikhlas dan dengan penuh kesadarannya mengucapkan kedua kalimat kesaksian ini maka ia diakui beragama Islam. Semua perkara lainnya dalam ajaran Islam dibangun atas landasan ini.
Allah, yaitu tuhan yang berhak disembah dalam pandangan Islam adalah Dia yang mengutus Muhammad, Dia yang mewahyukan kitab Al-Qur’an kepada Muhammad untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia agar menjadikannya sebagai pedoman hidup. Di dalam kitabNYA (Surah Al - Ikhlas : 1- 4) Allah menyatakan dirinya bahwa : ”Dia adalah Allah yang Maha Esa, Dia adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia”.
Islam memandang semua orang yang tidak percaya kepada Tuhan yang memiliki sifat utama seperti itu, begitu pula tidak percaya bahwa Muhammad sebagai rasul Allah, termasuk ajaran yang dibawanya (Al- Qur’an), maka mereka itu disebut sebagai orang kafir, artinya pengingkar, pembangkang, atau penentang. Begitu pula, walaupun mereka yang beriman kepada Allah, namun di samping itu mereka masih juga meyakini tuhan – tuhan lainnya, maka golongan ini disebut musyrik, artinya menyekutukan Allah dengan ”sesuatu” yang lain (baik manusia, maupun bukan manusia). Sebagai konsekuensi dari kesaksian atas kalimat tauhid (Laa ilaaha illallah) : tidak ada Tuhan yang berhak disembah, adalah mengenai tata cara penyembahan kepada Allah. Sesuai dengan kalimat kesaksiannya atas kerasulan Muhammad SAW, maka orang yang bersangkutan harus melakukan ritual penyembahan kepada Allah menurut tuntunan dan teladan Muhammad Rasulullah SAW. Pandangan mengenai kekafiran dan kemusyrikan ini tidak hanya terhadap penganut agama non Islam, tetapi juga terhadap orang yang mengaku sebagai penganut agama Islam namun masih memiliki keyakinan dan tindakan dalam beribadah yang bertentangan dengan pernyataan kesaksiannya itu.
Dalam aspek pluralitas sosio-religius, Islam tidak mengenal kompromi dalam masalah ketuhanan dan tata-cara penyembahannya. Dalam kontek perbedaan konsep ketuhanan, termasuk bentuk-bentuk ritus dari masing - masing agama, maka Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk bersikap saling menghargai perbedaan. Oleh karena, tidak dibenarkan untuk mencampur-adukannya seperti dalam urusan-urusan lain yang bersifat muamalat dan kemaslahatan bersama dalam hidup bermasyarakat, sehingga dimensi-dimensi teologis ini merupakan prinsip eksklusivisme dalam Islam. Dalam babak awal sejarah Islam tercatat : sebuah peristiwa penting yang menjadi landasan eksklusivisme. Bahwa ketika orang-orang kafir di kota Mekah mengajak Nabi Muhammad SAW dengan umatnya agar bersedia untuk beribadah bersama menurut cara mereka, kemudian secara bergantian akan melakukan ibadah menurut cara Islami. Atas dasar usulan ini, Nabi SAW mendapatkan konsepsi dari Allah SWT bahwa agama mereka adalah agama mereka, dan Islam adalah Islam. Keduanya tak bisa dicampur-adukkan, tetapi tak harus menimbulkan pertikaian, karena urusan kebenaran dan petunjuk hanya berada dalam kekuasaan-Nya. Peristiwa ini merupakan latar belakang sebab turunnya (asbabun nuzul ) surah Al-Kafirun ayat 1- 6 : ” Katakanlah : wahai orang-orang kafir aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah; dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah; untukmulah agamamu, dan untukku agamaku”.
Ini adalah prinsip eksklusivisme, yang memisah Islam dari non Islam dalam urusan teologis dan ritual keagamaan. Sedangkan dalam aspek hablum- minannas , perlu pula dicatat beberapa hal mengenai kebutuhan hidup manusia, terutama yang lebih sering tampak ke permukaan ketika umat Islam berinteraksi dengan umat agama lainnya.
Pertama, makanan dan minuman. Ajaran Islam secara tegas mengatur pengikutnya untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dan baik atau halalan- thoyyibah (Q.S. Al-Maidah, 5: 3-4, 88, 90-91). Selain terdiri dari bahan-bahan yang dibolehkan dan bergizi, juga cara untuk memperolehnya pun harus melalui prosedur yang dibenarkan oleh syara’. Misalnya, umat Islam dilarang mengkonsumsi daging babi. Semua jenis binatang lainnya yang dihalalkan antara lain seperti sapi, kambing, domba, ayam dan lain-lain juga bisa diharamkan, bila ketika disembelih tidak dengan menyebut nama Allah SWT (bismillahirrahmanirrahiim). Walaupun dari segi pemilikan, maka makanan yang diberikan oleh golongan agama lain, terutama ahli kitab adalah halal bagi orang Islam demikian pula sebaliknya (Q.S, Al-Maidah, 5 : 5), namun aspek lain, misalnya mengenai jenis makanan/minuman (babi, minuman keras, dll, ) juga masih terlihat adanya dimensi eksklusivisme. Hal ini membuat mereka merasa terpisah ketika berada dalam acara santap bersama dengan saudara-saudaranya dari umat agama-agama lainnya.
Kedua, pakaian. Syariat Islam juga mengatur tata busana, yang spesifik terutama bagi kaum wanita atau muslimah (Q.S. Al-Ahzab, 33: 59). Hal ini membawa kesan ekskluvistis, ketika membaur dalam masyarakat yang mayoritas beragama non Islam.
Ketiga, perkawinan. Tata cara perkawinan yang diatur dalam Al – Qur’an juga mengandung ajaran yang bersifat eksklusivistis. Umat Islam dilarang menikah dengan golongan musyrik (Q.S. Al- Baqarah, 2 : 221). Dalam kondisi tertentu golongan muslim (pria) dihalalkan untuk menikah dengan wanita baik-baik dari kalangan ahli kitab (Q.S. Al- Maidah, 5 : 5). Sedangkan bagi golongan muslimah sendiri tidak dibenarkan untuk menikah dengan pria yang beragama lain. Sebab, dalam pandangan Islam, pria (suami) menjadi pemimpin/pelindung bagi wanita (isteri) dalam rumah tangga (Q.S. An –Nisa, 4 : 34).
Keempat, persahabatan. Pada dasarnya dianjurnya bergaul, bersahabat, dan membangun kerja sama dengan semua umat manusia dengan prinsip saling memberi manfaat. Namun dalam kondisi tertentu, umat Islam tidak dibenarkan untuk menjadikan umat agama lain sebagai ”sahabat setianya” (Q.S. Al-Maidah, 5 : 51), terutama misalnya ketika terjadi konflik antar agama. Sikap kewaspadaan umat Islam dalam menghadapi kondisi seperti ini, sebenarnya dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan timbulnya konflik yang lebih besar dengan dampak yang lebih luas. Dari aspek ini pun sedikit terkesan eksklusif.
3. INKLUSIVISME DALAM ISLAM
Perbedaan umat manusia, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama dan sebagainya, merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Allah SWT. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Tuhan SWT, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujurat 13). Segenap manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya terus berusaha untuk memahami dan menyadari realitas ini sebagai suatu petunjuk kauniah dari Allah, Tuhan Maha Pemberi Petunjuk.
Khususnya yang berkenaan langsung dengan realitas pluralitas agama dalam kehidupan bermasyarakat, Al - Qur’an memberikan pedoman yang agar tidak mempersoalkan eksistensi agama lain di samping Islam. Hal ini pun diterima sebagai suatu sunnatullah. Allah berfirman :...” Untuk setiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu amat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan” (Q.S. Al – Maidah, 5 : 48). Dengan dasar ini, jelaslah bahwa umat Islam dilarang untuk menghina dan mengganggu keberadaan agama-agama lainnya. Apalagi memaksakan agamanya harus diterima oleh pihak lainnya (Q.S. Al – Baqarah, 2 : 256). Hal ini tidak berarti kegiatan da’wah dalam Islam dihentikan. Malah sebaliknya, seruan kepada Islam tetap menjadi suatu kewajiban bagi setiap muslim sepanjang hayatnya, namun dilakukan dengan penuh ”kebijaksanaan”, apalagi hal itu dilakukan dalam rangka amar-ma’ruh dan nahi-munkar .
Terhadap semua umat manusia, ajaran agama juga memerintahkan untuk selalu berbuat baik dalam segala urusan. Bahkan terhadap semua jenis makhluk lain dan lingkungan alam fisik di bumi ini pun, agama sangat melarang umatnya untuk bertindak dhalim dan berbuat kerusakan. Untuk meraih kepentingan bersama dan saling menguntungkan, Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk membangun kerja sama yang harmonis. Tentu saja semua bentuk kerja sama yang saling menguntungkan, yang dimaksudkan dalam hal ini adalah yang bisa berdampak pada peningkatan ketaqwaan, dan sama sekali tidak berakibat pada semakin meluasnya kedhaliman, kenistaan, dan kemaksiatan. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sistem sosio-religius yang pluralistis, seperti di daerah Nusa Tenggara Timur ini, maka umat Islam diharapkan lebih cerdas dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Ajaran-ajaran yang bersifat inklusif ini hendaknya ditumbuh-suburkan dalam berbagai sektor kehidupan : sosial, ekonomi, dan politik, dengan cara-cara yang bijaksana, sehingga dapat membuahkan keamanan dan kenyamanan, serta kemakmuran hidup bersama. Bila kondisi ini bisa terwujud, maka tidak berlebihan kalau dinyatakan bahwa inklusivisme Islam seimbang dengan dimensi-dimensi eksklusivismenya, sehingga koeksistensi Islam dalam masyarakat plural dapat berperan sebagai rahmatan lil ’alaamin. Bukan seperti yang didakwakan oleh berbagai kalangan sebagai agama ”terorisme, radikalisme, dan sejenisnya.
4. PENUTUP
Sebagai catatan penutup dari tulisan ini, kiranya perlu untuk ditegaskan kembali beberapa hal pokok, terutama dalam kaitannya dengan tema dari kegiatan dialog kerukunan lintas agama ini.
Pertama, bahwasanya Islam, sebagaimana agama-agama lain pada umumnya mengandung ajaran teologis tertentu yang spesifik, yang membedakannya dari agama yang lain. Ajaran yang dimaksud, baik secara tegas maupun secara samar-samar menyatakan kebenaran dan keunggulan pada dirinya, sekaligus menegasikan hal serupa terhadap agama atau pihak lainnya. Ini merupakan esensi eksklusivisme. Dalam Islam, ajaran-ajaran yang eksklusivistis, selain dijumpai dalam aspek-aspek teologis dan ritual, juga terdapat dalam beberapa aspek lain, yang berkenaan dengan kebutuhan hidup manusia, seperti sandang, pangan, perkawinan, persahabatan, dan sebagainya. Dalam masyarakat pluralistik, maka semua fakta sosial yang bernuansa eksklusivisme seperti ini ketika muncul dalam interaksi sosial tentunya berpotensi konflik. Melalui dialog seperti ini, sangat diharapkan agar semakin menumbuhkan semangat saling pengertian dan saling menghargai perbedaan. Perlunya kesadaran untuk menerima perbedaan agama sebagai sebuah fakta sosial yang universal. Kami berharap, agar forum dialog tentang eksklusivisme bukanlah media untuk mengkaji dan menguji, apalagi memperdebatkan kebenaran yang diyakini oleh masing-masing agama, khususnya mengenai prinsip-prinsip ajaran eksklusivisme. Akan tetapi dialog ini dimaksudkan agar kita saling mengenal perbedaan dan persamaan, meningkatkan kesadaran masing-masing pihak untuk saling menghargai dan menghormati guna membangun sikap toleransi antar sesama umat beragama.
Kedua, Islam memandang keanekan-ragaman ajaran agama yang ada merupakan suatu karunia Tuhan Yang Maha Esa. Jika Tuhan menghendaki tentunya Dia menjadikannya hanya satu agama saja. Akan tetapi Tuhan tidak melakukan yang demikian itu, dengan tujuan untuk menguji manusia atas karunianya berupa agama yang telah diturunkan untuk masing-masing umat. Dalam konteks itu hendaknya semua umat berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan untuk mencapai kemuliaan. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi-Nya, adalah orang-orang yang paling bertaqwa. Pada saatnya tiba, semua manusia akan kembali ke sisi-Nya, dan Dia akan memberitahukan segala perkara agama (eksklusivisme dan inklusivisme) yang diperselisihkan oleh umat-umat beragama ketika mereka masih hidup di dunia. Dengan demikian sangat dianjurkan untuk menumbuh-kembangkan semangat kebersamaan dan kesejajaran dalam berbuat kebajikan dalam semua bidang kehidupan : sosial, ekonomi, dan politik guna mewujudkan keamanan, kenyamanan, serta kemakmuran hidup bersama.
Ketiga, kiranya semua bentuk konflik yang mungkin terjadi antar umat beragama, terutama yang berkenaan dengan ekskluvisme dan inklusivisme, hendaknya diselesaikan secara bijaksana melalui proses dialog antar para pemuka agama. Untuk itu wadah-wadah berhimpun dari tokoh-tokoh agama dan pemerintah yang telah terbentuk, perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan, dan untuk segala kritik yang membangun, kami haturkan limpah terima kasih.
==============================================
BAHAN BACAAN
1. Al Hasyimi, Sayyid Ahmad. 1993. Syarah Mukhtarul Ahaadist. Penerbit Sinar Baru, Bandung.
2. Departemen Agama RI. 1993. Al – Qur’an dan Terjemahannya. Kerjasama PP. Muhammadiyah dan PP. Al – Irsyad Al – Islamiyah, Jakarta.
3. Shaleh, Q. , Dahlan, A. dan Dahlan, M.D. 1987. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al- Qur’an. Penerbit CV. Diponegoro, Bandung.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar