Rabu, 03 Oktober 2012

PENGUATAN PERAN MODAL SOSIAL UNTUK PENGEMBANGAN MASYARAKAT

KEGIATAN BELAJAR VIII 8.1. JUDUL : PENGUATAN PERAN MODAL SOSIAL UNTUK PENGEMBANGAN MASYARAKAT 8.2. PENDAHULUAN 8.2.1. Deskripsi Singkat, Manfaat, dan Relevansi Topik dengan Matakuliah Kajian tentang materi pokok dengan judul : Penguatan Peran Modal Sosial dalam Pengembangan Masyarakat, merupakan implementasi dari kajian mengenai strategi pengembangan masyarakat yang telah diuraikan secara panjang lebar di Modul 5, yang secara keseluruhan masih merupakan kajian teoritis. Sedangkan di bagian ini dan selanjutnya lebih merupakan kajian empiris. Dari ke empat strategi pembangunan menurut klasifikasi Nasikun (Hanani, 2003), barangkali tidak ada satu pun diantaranya yang secara tepat digambarkan dalam uraian berikut ini, yaitu penguatan peran modal sosial sebagai dalam pengembangan masyarakat. Namun, sebagimana sudah dijelaskan, sebelumnya ia bisa merupakan kombinasi dari beberapa (model) strategi teoritis yang ada. Materi yang disajikan di bagian ini merupakan sebuah pendekatan empiris, yang diambil dari sebagian hasil penelitian Disertasi oleh Abdurrahman (2010), yang berjudul Dinamika Rasionalitas Petani dan Peran Modal Sosial dalam Pembangunan Pedesaan : Studi Kasus Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering oleh Komunitas Etnis Atoni Pah Meto di Desa Nunmafo Kabupaten Kupang. Setelah mempelajari materi pokok tentang penguatan peran modal sosial ini, maka di modul-modul berikutnya anda akan memahami lebih jauh tentang bentuk-bentuk strategi pengembangan masyarakat yang lainnya, juga lebih terfokus pada kajian empiris. Hal ini sangat bermanfaat, yakni membantu mahasiswa untuk melatih dirinya dalam mendesain strategi pengembangan masyarakat bila kelak mereka berkiprah dalam bidang ini. 8.2.2. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari pokok bahasan ini, mahasiswa diharapkan dapat memiliki kemampuan untuk : (1) Menjelaskan konsep modal sosial untuk pengembangan masyarakat (2) Menjelaskan bentuk-bentuk modal sosial (3) Menjelaskan strategi penguatan peran modal sosial dalam pengembangan masyarakat pedesaan 8.2.3. Petunjuk Belajar Untuk mencapai hasil belajar yang optimal, anda dianjurkan untuk melengkapi referensi yang ada. Cermatilah konsep-konsep yang terkait dengan penguatan peran modal sosial dalam suatu bidang pembangunan. 8.3. URAIAN MATERI : 8.3.1. Pengertian Modal Sosial Istilah modal sosial (social capital), untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Pierre Bourdieu pada tahun 1970, melalui tulisannya `Le Capital Social : Provisoires’, lalu dipopulerkan di kalangan ilmuwan oleh Coleman pada tahun 1988 (Yustika, 2006; Bur, 2000; Halpern, 2005). Kendati istilah ini baru semakin populer, terutama setelah diadakan Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Sosial pada tanggal 12 Maret 1995 di Kopenhagen (Hermawanti dan Rinandari, 2006), akan tetapi substansinya sebagai suatu bagian penting dari realitas kehidupan masyarakat, memang bukan merupakan hal asing dalam kajian ilmu-ilmu sosial. Definisi modal sosial yang diutarakan oleh sejumlah pakar di bidang ini sangat bervariasi antara yang satu dengan lainnya. Begitu pula menyangkut substansi dan komponennya juga bervariasi. Beberapa definisi yang dikaji untuk membangun konsep modal sosial yang digunakan dalam modul ini , antara lain yang dikemukakan oleh Rober Putnam, Pierre Bourdieu, dan James Coleman, Bardhan, Brata, dan lain-lain (Coleman, 1994;Hermawanti dan Rinandari, 2006; El Mahdi ed, 2006; Yustika, 2006; Sutoro, 2003; Suharto, 2008). Robert Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu nilai mutual trust (kepercayaan) antara anggota masyarakat dan masyarakat terhadap pemimpinnya. Modal sosial didefinisikan sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan bersama. Hal ini juga mengandung pengertian bahwa diperlukan adanya suatu social networks (“networks of civic engagement”) - ikatan/jaringan sosial yang ada dalam masyarakat, dan norma yang mendorong produktivitas komunitas. Bahkan lebih jauh, Putnam melonggarkan pemaknaan asosiasi horisontal, tidak hanya yang memberi desireable outcome (hasil pendapatan yang diharapkan) melainkan juga undesirable outcome (hasil tambahan). Pierre Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai “sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (atau dengan kata lain: keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif”. Dalam pengertian ini modal sosial menekankan pentingnya transformasi dari hubungan sosial yang sesaat dan rapuh, seperti pertetanggaan, pertemanan, atau kekeluargaan, menjadi hubungan yang bersifat jangka panjang yang diwarnai oleh perasaan kewajiban terhadap orang lain. Bourdieu (1970) juga menegaskan tentang modal sosial sebagai sesuatu yang berhubungan satu dengan yang lain, baik ekonomi, budaya, maupun bentuk-bentuk social capital (modal sosial) berupa institusi lokal maupun kekayaan sumberdaya alamnya. Pendapatnya menegaskan tentang modal sosial mengacu pada keuntungan dan kesempatan yang didapatkan seseorang di dalam masyarakat melalui keanggotaannya dalam entitas sosial tertentu (paguyuban, kelompok arisan, asosiasi tertentu). James Coleman mendefinisikan modal sosial sebagai “sesuatu yang memiliki dua ciri, yaitu merupakan aspek dari struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial tersebut”. Dalam pengertian ini, bentuk-bentuk modal sosial berupa kewajiban dan harapan, potensi informasi, norma dan sanksi yang efektif, hubungan otoritas, serta organisasi sosial yang bisa digunakan secara tepat dan melahirkan kontrak sosial. Sedangkan dari hasil konferensi yang dilakukan oleh Michigan State University, Amerika Serikat tentang modal sosial, didefinisikan pengertian modal sosial sebagai “simpati atau rasa kewajiban yang dimiliki seseorang atau kelompok terhadap orang lain atau kelompok lain yang mungkin bisa menghasilkan potensi keuntungan dan tindakan preferensial, dimana potensi dan preferensial itu tidak bisa muncul dalam hubungan sosial yang bersifat egois”. Menurut Bardhan (1995), modal sosial dipahami pula sebagai serangkaian norma, jaringan dan organisasi dimana masyarakat mendapat akses pada kekuasaan dan sumberdaya, serta dimana pembuatan keputusan dan kebijakan dilakukan. Dari sudut pandang lain, North (1990) dan Olson (1982) menekankan pula lingkungan sosial politik sebagai modal sosial. Faktor lingkungan berpengaruh pada peluang bagi norma untuk mengembangkan dan membentuk struktur sosial. Jika pandangan Putnam dan Coleman hanya menekankan pada asosiasi horisontal dan vertikal, North & Olson menambahkan peran struktur dan hubungan institusional yang lebih formal, seperti pemerintah, rejim politik, hukum, sistem peradilan, serta kebebasan sipil dan politik. Menurut Brata (2004) bahwa modal sosial dalam pengertian jaringan atau hubungan-hubungan sosial informal turut menentukan proses ekonomi. Berkenaan dengan itu, Tonkiss (2000), mengingatkan bahwa suatu modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau kelompok, misalnya mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi, menemuikan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi . Hermawanti dan Rinandari (2006), menyatakan bahwa sebagai salah satu elemen yang terkandung dalam masyarakat sipil, modal sosial menunjuk pada nilai dan norma yang dipercayai dan dijalankan oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup individu dan keberlangsungan komunitas masyarakat. Dari sekian banyak batasan modal sosial seperti yang diutarakan diatas, nampaknya terdapat sejumlah unsur yang tercakup didalamnya. Beberapa unsur penting diantaranya, adalah : nilai, norma, institusi, jaringan, hubungan sosial, kepercayaan (trust), dan lain-lain. Sebagian definisi diantaranya yang lebih menonjolkan esensi dari salah satu atau beberapa unsur tertentu, sementara sebagian definisi lainnya lebih menekankan pada unsur-unsur yang lainnya. Hal ini dapat dimaklumi bahwa konsep mengenai modal sosial, seperti dinyatakan oleh Coleman (1994), bukanlah merupakan suatu entitas tunggal, tetapi terdiri dari beberapa entitas. Adanya perbedaan yang tampak dalam rumusan pada berbagai definisi diatas lebih terkait dengan perbedaan fokus kajian, dan bukan bernuansa perbedaan perspektif teoritis. Bila ditelusuri lebih jauh dari sudut pandang sosiologis, misalnya menurut perspektif struktural fungsional menyangkut konsep tentang unsur-unsur atau entitas yang terkandung dalam batasan modal sosial yang ada, ternyata hampir semuanya merupakan bagian atau komponen penyusun struktur dan fungsi suatu komunitas sosial. Ini berarti perbedaan yang tampak pada definisi tersebut lebih bernuansa sebagai perbedaan fokus kajian, dan bukan menyangkut perbedaan substansinya. Dalam berbagai telaahan mengenai modal sosial, khususnya mengenai komponen-komponen pokok penyusunnya, maka kepercayaan (trust) merupakan salah satu komponen utamanya (Sobel, 2002; Pranaji, 2006; Hermawanti dan Rinandari, 2006; ). Kepercayaan (trust) tersebut menyangkut nilai dan norma sosial, juga menyangkut orang (individu, kelompok), dan organisasi, atau koneksitas yang terbentuk diantara mereka. Secara ringkas, Giddens (El Mahdi, 2006) membagi trust dalam dua tipe yang saling terkait, yaitu trust terhadap abstract systems dan trust terhadap personal. Tipe pertama adalah kepercayaan yang dibangun sebagai implikasi dari berfungsinya institusi-institusi publik dengan baik. Misalnya para nasabah bank menaruh kepercayaan terhadap hitungan saldo yang tertuang dalam mesin ATM. Tipe yang kedua, adalah kepercayaan yang dibangun sebagai implikasi adanya interaksi intim dan terus-menerus antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Misalnya seorang anak yang menjalin interaksi intim dan terus menerus dengan ibunya akan menghasilkan hubungan yang saling mempercayai. Dari sejumlah pemikir yang menaruh perhatian dalam kajian sosiologis tentang modal sosial, nampaknya kajian Coleman yang lebih mendalam dan lebih luas bidang cakupannya. Selain itu sebagian besar pemikirannya, dipandang cukup relevan dengan kepentingan dalam kajian ini. Dengan alasan itu, maka tinjauan mengenai bentuk-bentuk modal sosial, termasuk dinamika perannya dalam kehidupan masyarakat seperti berikut ini lebih banyak mengacu pada pemikiran Coleman yang tersebar dalam beberapa pustaka. Dalam tulisan ini, definisi modal sosial yang digunakan adalah berdasarkan rumusan dari Abdurrahman (2009), yaitu : semua unsur-unsur sosial yang terdapat dalam suatu struktur sistem sosial yang dipercayai dapat memfasilitasi kegiatan produktif dalam suatu jaringan kerjasama antar individu/kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Dari konsep ini, sudah jelas bahwa bentuk-bentuk modal sosial tidak hanya terbatas pada norma (social norm), kepercayaan (trust) dan jaringan (networks) seperti dinyatakan oleh Putnam (1993) dan lain-lain. Bentuk modal sosial juga tidak hanya mencakup kewajiban dan harapan, potensi informasi, norma dan sanksi yang efektif, hubungan otoritas, serta organisasi sosial yang bisa digunakan secara tepat dan melahirkan kontrak sosial, seperti yang dinyatakan oleh Coleman (1994). Akan tetapi bentuk-bentuk modal sosial menurut batasan yang tercakup dalam konsep ini mungkin meliputi semua bentuk tersebut dan selainnya. Hal penting dan perlu untuk dipedomani dari konsep ini, adalah mengenai kriteria modal sosial. Suatu unsur sosial dapat dipandang sebagai modal sosial sekurang-kurang memenuhi 5 kriteria, yaitu : (1) unsur tersebut terdapat atau melekat dalam struktur sistem sosial, (2) adanya kepercayaan (trust) terhadap unsur tersebut, dan (3) mempunyai fungsi fasilitasi, (4) memiliki jaringan kerja sama untuk kegiatan produktif, (5) bersifat positif, yakni untuk mencapai suatu tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Ini berarti variabilitas bentuk modal sosial dalam setiap sistem sosial sangat tergantung pada konteks “tujuan” yang ingin dicapai dalam suatu kegiatan produktif, menurut pandangan masyarakat 8.3.2. Bentuk – Bentuk Modal Sosial Modal sosial yang terdapat dalam suatu masyarakat dapat tampil dalam beberapa bentuk. Seperti telah dinyatakan diatas, bahwa suatu modal sosial terdiri dari beberapa entitas, sehingga perbedaan bentuk modal sosial dapat pula dikenali dari komponen atau entitas yang menyusunnya. Suatu bentuk modal sosial tertentu memiliki ragam entitas yang mungkin berbeda dari yang lainnya. Coleman (2008) membahas secara mendalam beberapa bentuk diantaranya, yaitu kewajiban dan harapan, norma dan sanksi yang efektif, potensi informasi, relasi wewenang, dan keorganisasian. Secara garis besar, tinjauan teoritis mengenai bentuk-bentuk modal sosial menurut Coleman tersebut diutarakan berikut ini. Kewajiban dan Ekspektasi. Bentuk modal sosial ini, secara umum terdapat di dalam setiap masyarakat. Dalam setiap relasi sosial, pihak-pihak yang saling berhubungan masing-masing memiliki kewajiban tertentu terhadap sesama mereka. Pelaksanaan kewajiban-kewajiban oleh satu pihak terhadap pihak lain, akan menciptakan suatu ekspektasi bagi dirinya. Harapan atau ekspektasi ini pada gilirannya akan menjadi kewajiban dari pihak lain tersebut untuk memenuhinya. Coleman menggambarkan fenomena mengenai nilai kredibilitas tersebut dengan kasus asosiasi kredit berputar yang dijumpai di Asia Tenggara dan dimanapun juga. Di Indonesia misanya, kasus asosiasi kredit berputar tersebut dikenal secara umum hampir di semua kalangan masyarakat disebut “arisan”. Mengenai fungsi dari asosiasi seperti ini, Coleman mengutip pernyataan Geertz (1962) bahwa asosiasi ini menjadi institusi yang efisien untuk menabung guna pengeluaran modal yang kecil, bantuan yang penting untuk perkembangan ekonomi. Tanpa tingkat kredibilitas yang tinggi, tentu asosiasi kredit berputar semacam itu tidak mungkin dapat beroperasi. Sehingga sulit dibayang asosiasi semacam ini dapat beroperasi dengan sukses di lingkungan kehidupan masyarakat perkotaan yang ditandai dengan tingkat kekacauan sosial yang tinggi. Untuk itu Coleman menyatakan bahwa mereka tidak memiliki atau kurangnya modal sosial ini. Kasus lain yang menggambarkan pentinnya kredibilitas sebagai bentuk modal sosial adalah sistem kepercayaan bersama, misalnya keluarga (kepercayaan antara suami – istiteri, atau orang tua – anak, dan lain-lain). Selain itu digambarkan pula bahwa dalam komunitas petani, ketika seorang petani mendapati jeraminya diurus oleh petani lain, dan ketika alat pertanian dipinjam dan disewa secara luas, maka modal sosial ini memungkinkan setiap petani menyelesaikan pekerjaannya dengan sedikit modal fisik dalam bentuk alat dan perlengkapan. Potensi Informasi. Setiap potensi informasi yang melekat pada relasi-relasi sosial juga merupakan suatu bentuk modal sosial. Alat yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi adalah penggunaan relasi sosial yang dipertahankan untuk tujuan-tujuan lain. Dalam kehidupan masyarakat terdapat banyak contoh mengenai bentuk relasi sosial yang berpotensi menyediaakan informasi yang berharga. Potensi informasi ini juga merupakan suatu bentuk modal sosial. Norma dan Sanksi Efektif. Menurut Coleman bahwa ketika norma efektif terbentuk, norma tersebut menjadi suatu bentuk modal sosial yang kuat, tetapi kadang rapuh. Norma-norma efektif yang dapat mencegah kejahatan di suatu komunitas memungkinkan wanita dapat berjalan dengan bebas di luar pada malam hari, dan memunginkan orang tua meninggalkan rumah mereka tanpa rasa khawatir. Norma-norma efektif dalam sebuah komunitas yang mendukung dan memberikan penghargaan untuk prestasi tinggi di sekolah, adalah sangat memudahkan tugas-tugas sekolah. Norma preskriptif yang merupakan bentuk modal sosial sangat penting dalam kolektivitas adalah norma yang membuat seseorang melepaskan kepentingan diri sendiri untuk bertindak demi kepentingan kolektivitas. Norma tersebut, yang diperkuat dengan dukungan sosial, status, kehormatan, dan penghargaan lain, adalah modal sosial yang membentuk para pemuda, memperkuat keluarga, memudahkan perkembangan gerakan sosial yang lahir dari sebauh kelompok kecil orang-orang yang berdedikasi, picik, dan sama-sama menguntungkan, dan umumnya mendorong orang-orang untuk bekerja demi kebaikkan publik. Dalam beberapa kasus, norma ini diinternalisasi; dalam kasus yang lain norma-norma sebagian besar didukung melalui penghargaan eksternal untuk tindakan-tindakan tanpa pamrih, dan penolakan terhadap tindakan-tindakan egois. Akan tetapi baik yang didukung dengan sanksi internal atau sanksi ekternal, norma preskriptif ini penting untuk mengatasi masalah kebaikkan publik yang muncul dalam kolektivitas gabungan. Sebagaimana yang dinyatakan dalam semua contoh ini, norma-norma efektif dapat menghasilkan bentuk modal sosial yang kuat. Namun modal sosial ini, demikian pula halnya bentuk-bentuk modal sosial yang digambarkan sebelumnya, tidak hanya memudahkan beberapa tindakan, tetapi juga membatasi tindakan lain. Norma-norma yang kuat dan efektif tentang perilaku anak-anak muda dalam sebuah komunitas dapat memelihara mereka dari menyia-nyiakan kesempatan yang baik. Norma-norma yang memungkin wanita-wanita berjalan sendiri di malam hari juga membatasi aktivitas kejahatan, dan mungkin juga dapat membatasi beberapa aktivitas lain yang tidak jahat. Bahkan norma preskriptif dapat menghargai beberapa tindakan, seperti ada sebuah norma yang menyatakan bahwa seorang anak laki-laki yang ingin menjadi seorang atlit yang baik harus mengenal sepak bola, sebenarnya mengarahkan tenaga di luar aktivitas lain. Norma efektif di suatu daerah dapat menurunkan kreatifitas di daerah tersebut, dapat membatasi tidak hanya tindakan menyimpang yang merugikan orang lain, tetapi juga tindakan menyimpang yang dapat menguntungkan setiap orang. Relasi Wewenang. Secara sangat sederhana Coleman menjelaskan bentuk modal sosial ini dalam wujud relasi antara dua individu, A dan B. Jika aktor A mengalihkan hak kendali beberapa tindakan kepada aktor lain, yaitu B, maka B menyediakan modal sosial dalam bentuk hak tersebut. Jika sejumlah pelaku mengalihkan hak kendali yang sama kepada B, maka B menyediakan sekumpulan modal sosial yang besar, yang dapat dikonsentrasikan kepada beberapa aktifitas. Pengalihan kendali ini tentu saja meletakkan kekuasaan yang besar ke tangan B. Apa yang tidak lebih mudah adalah bahwa konsentrasi hak-hak ini pada aktor tunggal meningkatkan modal sosial total dengan mengatasi (pada dasarnya, jika kenyataannya tidak selalu seluruhnya) masalah pendompleng yang dialami oleh individu-individu dengan kepentingan sama tetapi tidak memiliki wewenang umum. Kenyataannya, keinginan untuk menciptakan modal sosial yang penting untuk memecahkan masalah-masalah umum nampaknya tepat sehingga mendorong orang-orang dibawah kondisi tertentu memberikan wewenang pada seorang pemimpin kharismatik kelihatan tepat. Organisasi Sosial. Untuk menerangkan bentuk modal sosial ini, Coleman mengambil contoh khusus pada organisasi yang dapat disesuaikan, seperti organisasi amal yang didirikan untuk beberapa tujuan lebih jauh dari tujuan orang-orang yang mendirikannya. Salah satu contoh yang dikemukakan Coleman adalah kelompok studi mahasiswa yang radikal di Korea Selatan. Organisasi sosial ini terdiri dari para mahasiswa yang berasal dari sekolah lanjutan, atau kota asal atau gereja yang sama. Dalam kasus ini, organisasi yang semula didirikan untuk suatu tujuan tertentu, selanjutnya dapat disesuaikan untuk tujuan lain, akan menjadi modal sosial yang penting untuk individu-individu yang telah menyediakan sumberdaya organisasi untuk mereka. Dari contoh ini diperoleh gambaran bahwa organisasi yang didirikan untuk satu rangkaian tujuan, juga dapat membantu tujuan-tujuan lainnya, karenanya ia menjadi suatu bentuk modal sosial. Selain itu, Coleman pun mengidentifikasi tipe organisasi sosial lainnya yang juga merupakan suatu bentuk modal sosial, yaitu “organisasi yang disengaja”. Bentuk modal sosial yang satu ini lazimnya merupakan bentuk modal sosial yang dapat diinvestasikan oleh para pemilik modal uang atau ekonomi. Organisasi sosial tertentu didirikan dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan. Organisasi ini biasanya mengambil bentuk struktur wewenang yang terdiri atas posisi-posisi yang dihubungkan dengan kewajiban-kewajiban dan ekspektasi, dan ditempati oleh orang-orang. Dalam mendirikan organisasi sosial semacam itu, seorang wirausahawan atau kapitalis mengubah modal uang menjadi : (a) modal fisik dalam bentuk bangunan dan peralatan, dan (b) modal sosial dalam bentuk organisasi yang terdiri atas beberapa posisi, dan (c) modal manusia dalam bentuk orang-orang yang menempati posisi-posisi tersebut. Bila dicermati lebih dalam mengenai bentuk-bentuk modal sosial, sesungguhnya tidak terbatas seperti apa yang dikemukakan oleh Coleman. Sebab, hal ini sangat erat kaitannya dengan jenis kegiatan produktif apa yang dihadapi, dan potensi peran apa dapat yang diharapkan dari keberadaan suatu unsur dalam struktur sosial. Dari aspek ini diketahui bahwa untuk pelbagai jenis kegiatan produktif dalam pembangunan pada masing-masing komunitas sosial, boleh saja dijumpai banyak ragam modal sosial dengan perannya tersendiri. Untuk melengkapi uraian mengenai bentuk-bentuk modal sosial termasuk perannya dalam pemberdayaan masyarakat, berikut ini diutarakan bentuk-bentuk modal sosial berdasarkan hasil studi empiris Abdurrahman (2009) tentang pengelolaan agroekosistem lahan kering di lingkungan komunitas etnis Atoni Pah Meto (APM) :kasus desa Nunmafo – Kabupaten Kupang. 8.3.3. Rasionalitas Petani APM tentang Unsur-Unsur Sosial Sebagai Modal Pembangunan Pedesaan Petani memang selalu bertindak rasional. Petani biasanya memiliki cara berpikir, pandangan dan pemahaman tersendiri mengenai dirinya, obyek dan peristiwa di sekelilingnya. Selain rasionalitasnya mengenai bagaimana sistem pengelolaan ALK sebagaimana telah diuraikan di bagian terdahulu, petani juga memiliki rasionalitas tertentu tentang keadaan sosialnya, antara lain tentang unsur-unsur sosial tertentu yang dapat berperan sebagai modal sosial dalam pengelolaan ALK. Sebagai masyarakat yang berbudaya agraris, hampir semua aspek sistem sosial komunitas etnis Atoni Pah Meto (APM) senantiasa terkait secara langsung atau tidak langsung dengan dunia pertanian (lahan kering). Tidak terkecuali, karakteristik rasionalitas masyarakat petaninya juga bernuansa pertanian lahan kering. Sebagimana diketahui bahwa karakteristik umum pertanian lahan kering, adalah sangat bergantung pada curah hujan, sebagai sumber air pengairan. Ini berarti faktor iklim merupakan kekuatan yang sangat menentukan. Sementara itu, khusus untuk daerah seperti di pulau Timor yang memiliki kondisi iklim kering, yang pada satu sisi dipandang ”kurang ramah” untuk pertanian, dan pada sisi lainnya kemampuan teknologis masyarakat petani yang masih sangat terbatas. Kondisi seperti ini mendorong petani sebagai insan rasional, untuk mengembangkan potensi-potensi lain yang dimilikinya untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk dari terjadinya fenomena alam yang dianggap kurang bersahabat tersebut. Salah satu potensi andalan utamanya, adalah struktur sosialnya. Struktur sosial masyarakat etnis APM (Hidayat, 1984; Parera, 1994, Cunningham, 1984; Suparlan, 2002) sebagamana halnya juga masyarakat agraris lain pada umumnya (Iskandar, 2001; Hidir, 2008, Dove, 1987) pada dasarnya tumbuh, berkembang, dan terus berevolusi sejalan dengan tuntutan kondisi perkembangan kebutuhan hidup dan masalah-masalah yang dihadapi warganya dari masa ke masa. Secara fungsional masing-masing unsur sosial yang terjalin dalam struktur sosial tersebut berfungsi mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat, yang dimanifestasikan dalam upaya pemenuhan berbagai segi kebutuhan hidup warga masyarakatnya. Untuk memenuhi kebutuhan pangan melalui usaha bercocok tanam, warga masyarakat selalu membutuhkan lahan ladang. Dalam perkembangan mutakhir, para ilmuwan sosial dan praktisi pembangunan masyarakat, secara umum memaknakan unsur-unsur sosial yang dimaksudkan itu sebagai ”modal sosial”. Unsur-unsur sosial tersebut disebut modal (capital), sebagaimana lazimnya istilah ini dipakai dalam dunia ekonomi, karena unsur-unsur inipun memiliki peran tersendiri sebagai modal, yakni dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal yang bersifat produktif. Konsep-konsep teoritis mengenai modal sosial sebagaimana yang dikembangkan oleh para pakar yang terkait dengan bidang ini memang sangat banyak. Masing-masing konsep yang diajukan oleh para pakar seperti yang telah sajikan di Bab II, nampaknya sangat bervariasi. Makna modal sosial yang digunakan dalam kajian empiris ini, lebih ditekankan pada pendekatan emik, yakni didasarkan pada rasionalitas petani setempat tentang unsur-unsur sosial yang dipandang dapat berfungsi produktif dalam pembangunan pedesaan, khususnya yang berkenaan dengan pengelolaan ALK. Informasi-informasi khusus mengenai modal sosial ini banyak digali dari hasil penuturan sejarah oleh tiga Informan Kunci ( Boliat Atonis, Marthen Luther BanoEt, dan Kepala Desa : Maksen Abraham Bonat ). Berdasarkan informasi tersebut diperoleh gambaran secara umum bahwa sepanjang sejarah pembangunan masyarakat setempat (community) ini, pertimbangan-pertimbangan dalam pembangunan senantiasa mengutamakan dimensi-dimensi sosial. Perhatian atas dimensi-dimensi sosial dalam ini, baik yang berkenaan dengan tujuan, proses pelaksanaan, pelaksana, dan hasil-hasil yang capai biasanya dikaitkan dengan dimensi-dimensi sosial. Walaupun demikian, tekanan perhatian atas hal ini selalu berubah sejalan dengan dinamika rasionalitas dari zaman ke zaman. Unsur-unsur sosial yang menjadi perhatian utama, diantaranya adalah institusi sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang, serta kelompok-kelompok sosial. Dalam berbagai aktifias pembangunan, misalnya membuka pendidikan Sekolah Dasar, dan mendirikan bangunan Gereja Protestan dan membuka pasar Oemofa, pada tahun 1970-an maka institusi-institusi sosial yang ada dalam masyarakat di kala itu sungguh-sungguh masih tetap berperan secara nyata. Institusi kekuasaaan dan wewenang yang berasal dari pemerintahan para raja misalnya, walaupun pada masa itu secara resmi tidak lagi berkuasa dalam sistem pemerintahan Orde Baru, namun keberadaan mereka sebagai pemimpin masyarakat tetap didayagunakan sebagai potensi yang berharga untuk mendukung pelaksanaan pembangunan masyarakat desa. Dengan demikian unsur-unsur sosial ini menurut pandangan mereka dapat berperan sebagai modal sosial untuk pembangunan pedesaan. 8.3.4. Peran Modal Sosial dalam Pengembangan Masyarakat Pedesaan : Kasus Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering (ALK) di Desa Nunmafo - Kupang. Semua jenis modal sosial sebagaimana yang telah diuraikan diatas memiliki peranan tertentu dalam pengelolaan ALK. Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan kunci, diperoleh gambaran yang cukup jelas mengenai berbagai bentuk peran. Dari berbagai jenis modal sosial yang ada di desa ini, berikut ini akan dibahas beberapa bentuk modal sosial diantaranya, yang lebih menonjol peranannya dalam pembangunan pedesaan. Suatu bentuk modal sosial bisa memiliki banyak peran dalam pembangunan pedesaan. Begitu pula bentuk-bentuk modal yang berlainan bisa memiliki peran tertentu yang sama. Kajian mengenai peran modal sosial dalam hal ini difokuskan pada empat aspek pengelolaan ALK seperti yang telah dibahas sebelumnya. a. Peran Institusi Sosial dalam Pengelolaan ALK. Tidak semua institusi sosial yang ada dalam struktur sosial masyarakat desa ini dapat digolongan sebagai modal sosial, terutama bila hal ini dihubungkan dengan pengelolaan ALK. Berbicara mengenai aspek yang pertama dalam pengelolaan ALK yaitu aspek lahan pertanian, khususnya dalam kaitannya dengan usaha-usaha yang dilakukan masyarakat petani untuk mendapatkan lahan pertanian, memanfaatkan, dan memeliharanya, maka hal ini berkenaan secara langsung dengan peran institusi pertanahan. Sebagaimana masyarakat agraris pada umumnya, institusi pertanahan dalam masyarakat etnis APM mempunyai peran kunci dan sangat menentukan dinamika pembangunan sosial ekonomi pertaniannya. Institusi Pertanahan Adat. Pada umumnya masyarakat etnis APM yang tersebar di berbagai bagian pulau Timor memiliki pandangan yang sama mengenai masalah pertanahan. Dalam struktur masyarakat adat etnis ini terdapat salah satu unsur atau bagian dari institusi yang khusus mengatur urusan tanah suku, baik mengenai pemilikannya maupun pemanfaatannya, dan lain-lain. Seperti dinyatakan oleh Hidayat (1984) mengenai lembaga pertanahan dalam masyarakat APM di Amarasi, bahwa kepala adat yang khusus mengurus dan memelihara serta mengawasi tanah-tanah suku selain raja dan fettor, adalah pah tuaf (tuan tanah). Tugas utama pah tuaf, adalah membagi-bagikan tanah suku kepada para amaf (kepala-kepala suku atau clan ) atas nama raja. Hak pemakaiannya diatur dan diberikan oleh kepala suku kepada anggotanya masing-masing. Dalam pelaksanaan hak garap pah tuaf dibantu oleh ama tobe, yang bertugas dalam bidang kerohanian dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat. Dilihat dari institusi pertanahan, kepala-kepala adat dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu : (a) Uis pah sebagai penguasa tertinggi atas tanah suku. Oleh karena itu raja juga disebut pah tuaf bila mempunyai tanah-tanah suku walaupun hanya secara de yure, karena secara de facto berada ditangan kepala-kepala sukunya. (b) Ama tobe, yaitu kepala adat yang bertugas dalam bidang kerohanian yang melaksanakan dan memimpin upacara-upacara adat yang berhubungan dengan pemakaian tanah-tanah suku. Berkenaan dengan itu pula, ama tobe juga dipercayai dapat memberikan petunjukkan berdasakan kemampuan spiritualnya mengenai tanah-tanah yang terletak di bagian mana yang cocok untuk membuka ladang baru. (c) Tof moni ma kun moni, yaitu kepala suku yang bertugas mengumpulkan hasil-hasil panen dari kebun-kebun para penggarap untuk kemudian diserahkan kepada penguasa tertinggi (Uis Pah). Dalam struktur institusi pertanahan seperti tersebut diatas menunjukkan bahwa institusi ini mempunyai peranan yang penting dalam pengelolaan ALK. Diantara peran-peran penting yang dimaksudkan di sini, adalah : (1) memberikan petunjuk tentang tanah-tanah yang cocok untuk membuka areal ladang baru; (2) memberikan legitimasi hukum adat tentang hak penguasaan atas lahan dan mekanisme penggarapannya. Dalam perkembangan selanjutnya, seperti terjadi dewasa ini peranan institusi ini tergeser oleh lahirnya peraturan perundang-undangan yang baru di bidang pertanahan (UUPA). Adanya dualisme pengaturan pemilikan dan pemanfaatan tanah, sudah tentu membawa dampak tersendiri dalam pengelolaan ALK. Pada satu sisi peranan ama tobe sebagai tuan tanah tidak lagi berjalan efektif seperti pada masa-masa sebelum lahirnya UUPA ini. Sementara itu pada sisi lainnya, pelaksanaan UU ini juga mengalami hambatan besar, karena berbenturan dengan kekuasaan ama tobe yang masih ada, walaupun secara formal sebagian warga masyarakat tidak mengakui lagi keberadaan golongan ini. Institusi Kekerabatan. Institusi sosial lainnya yang juga berperan sebagai modal sosial dalam pengelolaan ALK adalah institusi kekerabatan (domestic institution). Sekurang-kurangnya dapat dicatat tiga peranan pokok dari institusi ini, yaitu : (a) sebagai medium pewarisan., (b) sebagai penyedia tenaga kerja dan pengelola ALK, dan (c) sebagai sumber dukungan alternatif sarana produksi, dan lainnya. Dalam konfigurasi institutional system di desa ini, institusi kekerabatan ini berkaitan erat dengan institusi pertanahan seperti diuraikan diatas, terutama mengenai ketentuan tentang pewarisan tanah. Tanah-tanah suku yang telah diberikan dan menjadi hak garap bagi warga suku atau anggota clan selanjutnya dapat diwariskan kepada masing-masing anggota keluarga yang berhak. Sebagai masyarakat yang menganut sistem patrilineal, anak laki-laki mempunyai kedudukan lebih istimewa dalam keluarga. Dalam hubungan keluar di lingkungan keluarga besar atau masyarakat desa pada umumnya, anak laki-laki tertua diakui sebagai pengganti atau pewaris keluarga intinya. Dalam hukum adat yang dianut, tidak ditegaskan secara khusus mengenai hak-hak waris bagi anak-anak perempuan. Walaupun demikian, dalam musyawarah keluarga untuk pembagian tanah warisan, kondisi ekonomi dan harapan-harapan anak-anak perempuan selalu dipertimbangkan. Oleh karena masyarakat APM di desa ini tidak mengikuti pola ”patrilineal sejati”, artinya dalam kondisi tertentu bisa disepakati bersama dalam keluarga inti dan keluarga besar, bahwa salah seorang anak laki-laki berpindah mengikuti suku ibu atau neneknya. Status anak seperti ini tidak mutlak mendapat tanah warisan dari bapaknya, tetapi berhak penuh untuk mendapat pembagian tanah warisan dari keluarga ibu atau neneknya. Hal penting yang perlu dicatat dari uraian institusi keluarga dan sistem pewarisan tanah dalam kaitannya dengan pengelolan ALK, adalah masalah segmentasi dan fragmentasi tanah pertanian. Di samping fakto-faktor lain, seperti jual beli dan hibah tanah, maka intitusi keluarga dan sistem pewarisan dalam masyarakat ini jelas merupakan penyebab utama masalah perpecahan (segmentation) dan perpencaran (fragmentation) lahan pertanian di desa ini. Dewasa ini masalah-masalah mengenai pola pemilikan dan penguasaan lahan seperti itu banyak didiskusikan dalam perspektif pertanian modern, sebagai salah satu sumber inefficiency dalam ekonomi pertanian. Jika peran institusi keluarga sebagai medium pewarisan seperti diuraikan diatas itu lebih merupakan aspek fisik, maka selain itu peranan institusi ini lebih bersifat non fisik. Peranan sebagai medium pewarisan yang dimaksudkan disini adalah keluarga sebagai wadah transmisi budaya antara generasi, dimana nilai-nilai budaya etnis APM diwariskan oleh generasi tua kepada generasi muda melalui proses sosialisasi dalam keluarga. Budaya bercocok tanam di kalangan masyarakat petani etnis APM sebagaimana disaksikan dewasa ini, boleh dikatakan hampir sepenuhnya merupakan warisan tradisi para pendahulu mereka dari zaman dahulu. Tradisi tersebut tidak mengalami perubahan yang signifikan secara teknis. Kendati arus masuknya pesan-pesan perubahan teknologis ke desa ini pun cukup gencar, namun hal itu tidak begitu besar dampaknya terhadap perubahan teknologi pertanian yang ada. Salah satu faktor yang juga banyak disebut-sebut oleh para pihak sebagai penghambat, yaitu masih sangat kuatnya pengaruh tradisi yang disosialisasikan melalui peran institusi keluarga. Dalam pengelolaan ALK di desa Nunmafo, institusi keluarga berperan sebagai penyedia tenaga kerja sekaligus sebagai pengelolasebesar dua kali jumlah pinjaman. Norma-norma mengenai transaksi pinjam-meminjam antar keluarga petani ini sangat dipatuhi, dan semuanya terlaksana dengan baik atas dasar saling percaya antar sesama mereka. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan, institusi kekerabatan mempunyai peranan yang penting dalam pengelolaan ALK, terutama dalam hal : (a) sebagai sumber dukungan alternatif sarana produksi, dan lainnya; (b) sumber penyediaan tenaga kerja, dan pengelola ; (c) sebagai medium pewarisan, baik menyangkut nilai-nilai budaya maupun lahan pertanian, dan harta kekayaan lainnya. Institusi Pemerintahan Desa. Bentuk institusi sosial lainnya juga berperan penting sebagai modal dalam pengelolaan ALK, adalah institusi pemerintahan desa. Jika pembahasan mengenai kedua institusi sosial sebelumnya lebih menonjolkan pada dimensi social bonding, yakni mengenai jaringan hubungan sosial yang lebih bersifat internal, maka pembahasan mengenai institusi pemerintahan ini lebih kompleks, karena selain mengenai social bonding, juga menyangkut dimensi-dimensi social bridging. Khusus mengenai yang terakhir ini, maka kajian mengenai modal sosial lebih mengarah pada fungsinya sebagai perantara yang menghubungkan masyarakat desa Nunmafo dengan pihak luar, terutama misalnya dengan pemerintahan pada level yang lebih tinggi. Dalam rangka pengelolaan ALK di desa ini, institusi pemerintahan desa sebagai modal sosial yang sangat berperan sebagai : (a) Jembatan (bridging) perantara masyarakat petani desa ini dengan pihak luar yang berkompeten dengan program-program pembangunan pedesaan pada umumnya dan pengelolaan ALK pada khususnya. (b) Penggerak warga masyarakat dalam pelaksanaan program-program pembangunan di desa, baik berupa program-program yang datang dari pihak luar (Instansi Pemerintahan Daerah atau Lembaga Swadaya Masyarakat – LSM), maupun program-program yang dibuat atas prakarsa masyarakat lokal. Dari aspek ini, nampaknya peran institusi pemerintahan desa mulai semakin menonjol di masa Orde Baru. Sebagaimana diketahui, bahwa pada masa itu tidak sedikit program-program pembangunan sektoral yang membanjiri atau masuk desa (Listrik Masuk Desa, Koran Masuk Desa, Bidan Masuk Desa, ABRI masuk Desa, dan sebagainya). Semua program yang masuk desa mengedepankan peran Kepala Desa dengan institusi yang dipimpinnya sebagai pelopor dan penggerak pelaksanaannya di lapangan. Keseharian mereka senantiasa disibuki dengan menerima kunjungan kerja dari petugas sosialisasi program, dan segala seluk-beluknya. Di masa reformasi, tepatnya sejak tahun 2001 setelah berdirinya desa Nunmafo (pemekaran desa Oemofa), institusi pemerintah desa yang baru ini secara bertahap mulai membenahi perangkat institusional agar dapat berperan optimal dalam menggerakkan pembangunan di desa. (c) Mediator penyelesaian masalah-masalah konflik antara warga masyakarat desa. Dalam pelaksanaan peran ini, biasanya disertakan pula dengan tokoh-tokoh masyarakat lainya, baik dari kalangan pemuka agama maupun pemuka adat, terutama mereka yang terhimpun dalam organisasi Dewan Perwakilan Desa. Bilamana ada diantara warga yang bersengketa merasa tidak puas dengan hasil yang dicapai, maka mereka biasanya berupaya menempuh jalur hukum. Ketika peneliti mewawancarai Stefanus Boymau (45 tahun) Ketua RW !0 (Poti), tentang peran institusi ini dalam menyelesaikan sengketa antar warga, beliau langsung menceriterakan kembali kasus yang baru saja dialaminya sehari sebelumnya, dan masih dalam proses penyelesaian di Pos Polisi. Di kala itu, Maksen Abraham Bonat (55 tahun) Kepala Desa Nunmafo secara spontan menyela pembicaraan dengan nada setengah sinis (rupanya ia bermaksud mengoreksi langkah yang ditempuh Ketua RW dan warganya dalam kasus sengketa pribadi), bahwa sejak dibukanya Pos Polisi di Oemofa ( Ibu Kota Kecematan Amabi Oefeto Timur), orang lebih cenderung menyelesaikan kasus persengketaannya di sana, seakan-akan pemerintahan desa tidak perlu lagi dalam urusan tersebut. Fakta ini mendukung pernyataan Coleman (1994), bahwa bentuk dan peranan suatu modal sosial berubah, misalnya semakin melemah karena kebijakan pemerintah. 2. Peran Kelompok Sosial dalam Pengelolaan ALK. Setiap manusia memiliki naluri sosial berupa suatu kecenderungan untuk senantiasa hidup bersama atau bergabung dengan sesamanya, yang di sebut gregoriousness. Dengan naluri ini, manusia terdorong untuk membentuk kelompok-kelompok sosial. Sebab, secara kodratik kondisi-kondisi kemanusiaan, baik secara fisik maupun non fisik, manusia membutuhkan pertolongan orang lain sejak awal hingga akhir hanyatnya. Untuk itu ia harus hidup bersama atau bergabung dengan orang lain, agar bisa hidup layak sebagai manusia pada umumnya. Tanpa mempersoalkan taraf kemajuan masyarakat, baik masyarakat sederhana dan masih sangat tradisional maupun pada masyarakat kompleks dan sudah sangat modern, selalu terdapat bermacam-macam kelompok dalam struktur sosialnya. Ada pendapat yang menyatakan bahwa jumlah dan jenis kelompok dalam struktur sosial menunjukkan tingkat kemajuan masyarakatnya. Hal ini berarti, eksistensi kelompok dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu fenomena universal. Begitu pula dalam struktur sosial masyarakat etnis APM di desa Nunmafo. Pada saat penelitian ini dilakukan, di desa ini terdapat beberapa kelompok sosial yang sengaja dibentuk sesuai dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan para anggota kelompoknya. Beberapa jenis kelompok sosial diantaranya yang dibahas berikut ini, terutama kelompok-kelompok sosial yang memiliki peran tertentu, atau dapat dikembangkan perannya untuk pengelolaan ALK di desa ini. Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nekmese. Kelompok yang dibentuk pada tahun 2003 atas inisiatif seorang ketua Rukun Keluarga (RK), Stefanus Boymau ini, pada mulanya hanya beranggotakan 20 orang petani. Para anggota awal pada saat pembentukannya hanya terdiri dari keluarga dekat yang bermukim di wilayah Dusun Poti. Pada saat penelitian ini dilakukan, jumlah anggota kelompok iekonomi rumah tangga anggotanya, khususnya masalah-masalah yang dianggap mendesak dan membutuhkan dana yang cukup besar. Ada beberapa petani anggota dianntaranya juga memanfaatkan dana pinjaman dari kelompok ini untuk biaya pendidikan bagi anak-anaknya yang ingin melanjutkan studinya pada jenjang yang lebih tinggi di daerah perkotaan. Ada juga yang meminjam dana kelompok ini untuk mengatasi kebutuhan biaya-biaya yang lain, seperti biaya ‘masuk Polisi’ di Kupang, merantau ke Malaysia, atau mencari kerja di kota-kota besar lainnya. Sekalipun kelompok ini tidak mempunyai aturan tertulis tentang pinjam-meminjam dana kelompok, namun menurut pengakuan ketua kelompok yang berpendidikan tidak tamat Sekolah Dasar ini, bahwa semua ketentuan tidak tertulis yang dibuat dan disepakati bersama biasanya dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan penuh rasa tanggungjawab. Katanya selama ini mereka tidak pernah mengalami masalah-masalah yang sulit, misalnya masalah yang berkaitan dengan pengembalian angsuran dana pinjaman dan bunganya sebesar 25 % dengan jangka waktu pinjaman berkisar 1 – 6 bulan. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya yang berkenaan dengan pengembalian dana pinjaman yang tidak sesuai dengan ketentuan, mereka telah bersepakat membentuk suatu tim penasihat. Tim ini beranggotakan beberapa orang pemuka masyakat yang sangat disegani. Seakan-akan tim ini berfungsi sebagai ‘ jaminan ‘ bagi para anggota yang ingin meminjam. Atas dasar kepercayaan (trust) dan secara timbal-balik (reciprocal) saling membantu dan menguntungkan inilah mereka sangat patuh atas segala norma kelompok yang telah dibuat dan disepakati bersama, sehingga dengan demikian mereka dapat mendayagunakan kelompok tersebut sebagai suatu modal sosial untuk pembangunan pedesaan. Walaupun jenis modal sosial ini dibentuk bukan dengan tujuan untuk mendukung pengelolaan ALK di desa ini, namun kelompok ini bisa dikembangkan dan dimanfaatkan juga untuk tujuan-tujuan lain yang berkaitan dengan pengelolaan ALK. Secara keseluruhan, kelompok sosial ini mempunyai beberapa peranan penting yang berkaitan dengan pengelolaan ALK di desa ini, yaitu : (a) sebagai wadah yang memperkuat social bonding, antar sesama warga masyarakat desa yang menjadi anggotanya, sekaligus membuka peluang kearah pemantapan social bridging, antara anggota kelompok dengan pihak luar ; (b) menjadi sumber dana tunai, yang dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan usaha-usaha produktif dalam pengelolaan ALK ; (c) menjadi wadah sosialisasi, dan penyebaran informasi ; dan (d) forum komunikasi bagi para petani yang menjadi anggotanya dalam rangka membina bentuk-bentuk kerja sama lainnya, yang sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Kelompok Tani (KT). Keberadaan kelompok tani dalam struktuati bersama biasanya dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan penuh rasa tanggungjawab. Katanya selama ini mereka tidak pernah mengalami masalah-masalah yang sulit, misalnya masalah yang berkaitan dengan pengembalian angsuran dana pinjaman dan bunganya sebesar 25 % dengan jangka waktu pinjaman berkisar 1 – 6 bulan. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya yang berkenaan dengan pengembalian dana pinjaman yang tidak sesuai dengan ketentuan, mereka telah bersepakat membentuk suatu tim penasihat. Tim ini beranggotakan beberapa orang pemuka masyakat yang sangat disegani. Seakan-akan tim ini berfungsi sebagai ‘ jaminan ‘ bagi para anggota yang ingin meminjam. Atas dasar kepercayaan (trust) dan secara timbal-balik (reciprocal) saling membantu dan menguntungkan inilah mereka sangat patuh atas segala norma kelompok yang telah dibuat dan disepakati bersama, sehingga dengan demikian mereka dapat mendayagunakan kelompok tersebut sebagai suatu modal sosial untuk pembangunan pedesaan. Walaupun jenis modal sosial ini dibentuk bukan dengan tujuan untuk mendukung pengelolaan ALK di desa ini, namun kelompok ini bisa dikembangkan dan dimanfaatkan juga untuk tujuan-tujuan lain yang berkaitan dengan pengelolaan ALK. Secara keseluruhan, kelompok sosial ini mempunyai beberapa peranan penting yang berkaitan dengan pengelolaan ALK di desa ini, yaitu : (a) sebagai wadah yang memperkuat social bonding, antar sesama warga masyarakat desa yang menjadi anggotanya, sekaligus membuka peluang kearah pemantapan social bridging, antara anggota kelompok dengan pihak luar ; (b) menjadi sumber dana tunai, yang dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan usaha-usaha produktif dalam pengelolaan ALK ; (c) menjadi wadah sosialisasi, dan penyebaran informasi ; dan (d) forum komunikasi bagi para petani yang menjadi anggotanya dalam rangka membina bentuk-bentuk kerja sama lainnya, yang sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Kelompok Tani (KT). Keberadaan kelompok tani dalam struktur masyarakat petani APM mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan pertanian, khususnya pengelolaan ALK. Sebagaimana diketahui bahwa pembentukan kelompok tani di desa- desa APM pada umumnya bukan merupakan prakarsa murni masyarakat petani setempat, tetapi sebagiannya merupakan campur-tangan instansi pemerintah melalui peran aparat pemerintahan desa. Sebagian petani di desa ini mengakui, bahwa mereka memang sudah pernah mendengar apa yang disebut kelompok tani. Bahkan banyak pula petani di desa ini pernah terdaftar menjadi anggota kelompok tani sejak zaman Orde Baru. Akan tetapi, keberadaan kelompok tani bagi mereka belum begitu terasa manfaatnya. Sebab, kebanyakan kelompok tani di masa itu menurut mereka tidak aktif sebagaimana mestinya. Pada umumnya kelompok-kelompok tani yang terbentuk sekedar memenuhi target tertentu, tanpa ditindak-lanjuti dengan tindakan pembinaan dan pemanfaatan kelompok agar menjadi wadah pemberdayaan masyarakat tani. Sejak awal masa reformasi, nampaknya sudah mulai ada perhatian yang lebih sungguh-sungguh mengenai arti pentingnya kelompok tani dalam pengelolaan ALK. Setelah secara definitif desa Nunmafo terbentuk pada tahun 2001, secara berangsur-angsur mulai dilakukan pembenahan kembali beberapa aspek struktural, termasuk di dalamnya adalah pembentukan kelompok tani. Hingga penelitian ini dilakukan tercatat telah terbentuk 6 kelompok tani, yang tersebar di semua wilayah dusun yang ada di desa Nunmafo. Nama dari keenam kelompok tani yang di maksud, adalah : Vetomone, Nekmese, Haikmoe, Pelita, Senakuan, dan Poti. Jumlah anggotanya berkisar antara 25 – 30 0rang petani. Tujuan utama dari pembentukan kelompok-kelompok tani yang ada di desa Nunmafo, adalah menciptakan wadah belajar bagi petani melalui kegiatan Penyuluhan Pertanian, forum komunikasi bagi para petani dengan pihak pemerintahan, dan membangun wadah kerja sama antara para petani anggota dalam berbagai segi kegiatan yang bermanfaat untuk pengembangan usahanya. Salah satu kelompok tani diantaranya, yaitu Nekmese (sehati), keanggotaannya terdiri dari kaum perempuan. Kelompok Tani Perempuan ini, selain berfungsi sebagai kelompok tani pada umumnya, juga kelompok ini mengadakan aktifitas-aktifitas non pertanian lain yang pada dasarnya bertujuan untuk pemberdayaan kaum perempuan di desa Nunmafo. Dalam rangka pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Desa tahun anggaran 2009/2010, sebagaimana yang sedang dilaksanakan di desa Nunmafo, salah satu aspek kegiatan yang mendapat prioritas adalah pemberdayaan kaum perempuan. Untuk mendukung pelaksanaan program tersebut, pemerintah desa mengharapkan peran aktif kelompok tani Nekmese dalam memprakarsai pelaksanaan berbagai kegiatan program ini. Kegiatan Penyuluhan Pertanian yang dilaksanakan di desa ini menurut pengamatan Kepala Desa sendiri (sebagai key informan), memang belum begitu intensif sebagaimana yang diharapkan, karena terbatasnya jumlah penyuluh bila dibandingkan dengan luasnya wilayah kerja. Walaupun demikian, bila desa ini mendapat kesempatan untuk dikunjungi oleh penyuluh pertanian lapangan (PPL), maka kunjungan kerja tersebut biasanya mengambil sasaran pada kelompok-kelompok tani yang ada di desa ini, bukan kepada petani secara perorangan, atau kelompok-kelompok kerja yang lainnya. Berdasarkan informasi ini, jelaslah bahwa keberadaan kelompok tani dalam struktur masyarakat petani etnis APM mempunyai peran penting dalam pengelolaan ALK. Peran kelompok tani dalam hal ini setidak-tidaknya sebagai : (a) wadah pembelajaran bagi petani dalam meningkatkan pengetahuan dan ketranmpilannya dalam mengelola pertaniannya, (b) wadah sosialisasi kebijakan pemerintah mengenai program-program pembangunan pertanian ; (c) wadah penyaluran bantuan dari pemerintah, berupa : sarana produksi, dana kredit, dan sebagainya ; serta (d) forum komunikasi dan kerjasama antar petani anggota ; dan ( e) sebagai wadah yang memperkuat social bonding, antar sesama warga masyarakat desa yang menjadi anggotanya. Kelompok kerja Bergilir (KKB). Keberadaan bentuk modal sosial ini dalam masyarakat petani etnis APM, khususnya di desa Nunmafo, boleh dikatakan memiliki peran yang sangat strategis dalam pengelolaan ALK. Kelompok kerja bergilir atau disebut juga arisan kerja ini dibentuk oleh sejumlah petani dengan tujuan pokoknya adalah membantu memudahkan urusan petani dalam beberapa jenis kegiatan pengelolaan ALK. Jumlah anggotanya berkisar 7 – 10 orang petani. Pada umumnya kelompok kerja ini bersifat temporer (sementara), yakni dibentuk untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu misalnya mempersiapkan lahan ladang, seperti kegiatan menebang semak-belukar (Gambar 8.2). Kelompok ini akan segera bubar, bilamana semua anggota kelompok telah mendapat giliran dalam penyelesaian pekerjaan tersebut. Akan tetapi kadangkala jenis kelompok ini juga bersifat semi permanen, karena masih tetap bertahan selama paling kurang satu musim tanam, dan untuk menyelesaikan beberapa jenis kegiatan, mulai dari kegiatan mempersiapkaln lahan hingga kegiatan panen. Suatu kelompok yang semula dibentuk untuk menyelesaian suatu pekerjaan tertentu, atau bersifat temporer, kadang-kadang terus bertahan dan berlanjut menjadi kelompok yang semi permanen guna untuk menyelesaikan beberapa jenis pekerjaan lainnya. Hal ini sangat tergantung pada kecocokan anggota kelompok dan kesepakatan mereka bersama. Faktor utama yang mengikat beberapa petani untuk bergabung dalam sebuah kelompok kerja di desa ini, adalah karena kepentingan bersama. Selain itu, terbentuknya kelompok-kelompok kerja bergilir yang jumlahnya sangat banyak di desa ini, juga didasarkan pada beberapa faktor lain seperti : kedekatan letak tempat tinggal atau tempat usahatani, kedekatan hubungan kekeluargaan, atau karena diantara sesama mereka memang ada rasa kecocokan tertentu dan mereka saling percaya antara satu dengan yang lainnya. Jenis-jenis kegiatan pengelolaan ALK yang memerlukan keterlibatan peran kelompok kerja bergilir, biasanya menyangkut jenis pekerjaan yang : (1) membutuhkan jumlah tenaga kerja dalam jumlah yang relatif banyak, yang tidak bisa dicukupi dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia dalam keluarga ; (2) bersifat mendesak, karena harus segera diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Kelompok kerja ini tidak terorganisasikan dengan struktur pimpinan dan kekuasaan tertentu. Namun mereka memiliki norma-norma tertentu yang telah disepakati bersama guna mengatur mekanisme pelaksanaan kerja secara bergilir tersebut. Norma-norma yang dimaksud, antara lain menyangkut : penentuan lamanya waktu kerja, pengaturan luas lahan yang akan digarap oleh kelompok kerja, penetapan tugas penyediaan jatah makan siang, pengaturan sanksi bagi anggota yang berhalangan atau tidak ikut bekerja pada hari yang telah ditentukan, dan sebagainya. Selain kelompok kerja bergilir (KKB), di desa Nunmafo juga terdapat banyak kelompok lain yang serupa, yang juga berperan penting sebagai modal sosial dalam pengelolaan ALK. Kendati motif pembentukan kelompok ini agak berbeda dengan KKB, karena lebih berorientasi pada kelompok kerja upahan (bersifat komersil). Keberadaan kelompk-kelompok sosial seperti KKB dan kelompok kerja lainnya yang bersifat ‘upahan’ dalam struktur sosial etnis APM memiliki peran-peran tertentu. Khususnya seperti yang ditemukan di desa Nunmafo ini, kelompok-kelompok ini merupakan salah satu bentuk modal sosial. Bentuk modal sosial ini mempunyai peranan tertentu dalam pengelolaan ALK, terutama dalam hal : (a) penyediaan tenaga kerja, yang bersumber dari luar keluarga, baik tenaga kerja upahan maupun non-upah ; (b) forum komunikasi dan kerjasama antar petani anggota ; dan (c) sebagai wadah yang memperkuat social bonding. 8.3.5 Rangkuman Menurut rasionalitas petani di desa Nunmafo, bahwa dalam struktur sosial etnis APM terdapat sejumlah unsur sosial yang potensial, terutama karena hal itu dapat membantu memudahkan urusan mereka dalam kegiatan pengelolaan ALK. Berdasarkan beberapa contoh unsur sosial yang diutarakan oleh petani, bila dianalisis menurut pendekatan teori-teori ilmu pengetahuan sosial maka hal itu dapat dikategorikan sebagai modal sosial. Beberapa unsur sosial yang dapat identifikasi sebagai bentuk-bentuk modal sosial dengan perannya dalam pengelolaan ALK, adalah : a. Institusi - Institusi sosial : 1) Institusi pertanahan adat, berperan dalam hal : (a) memberikan petunjuk tentang tanah-tanah yang cocok untuk membuka areal ladang baru; (b) memberikan legitimasi hukum adat tentang hak penguasaan atas tanah dan penggarapannya. 2) Institusi kekerabatan, berperan dalam hal : (a) sebagai medium pewarisan, baik menyangkut nilai-nilai budaya maupun lahan pertanian, dan harta kekayaan lainnya; (b) sumber penyediaan tenaga kerja, dan pengelola ; serta (c) sebagai sumber dukungan alternatif sarana produksi, dan lainnya. 3) Institusi pemerintahan desa, berperan dalam hal : (a) sebagai jembatan (bridging) perantara masyarakat petani desa ini dengan pihak luar yang berkompeten dengan program-program pembangunan pedesaan pada umumnya dan pengelolaan ALK pada khususnya; (b) sebagai penggerak warga masyarakat dalam pelaksanaan program-program pembangunan di desa; (c) mediator penyelesaian masalah-masalah konflik antara warga masyakarat desa. b. Kelompok – kelompok Sosial : 1) Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nekmese, berperan dalam hal : (a) sebagai wadah yang memperkuat dan memantapkan social bonding dan social bridging ; (b) menyediakan sumber dana tunai, untuk pembiayaan usaha-usaha produktif dalam pengelolaan ALK ; (c) menjadi wadah sosialisasi, dan penyebaran informasi ; dan (d) forum komunikasi bagi para petani anggotanya. 2) Kelompok Tani, berperan sebagai : (a) wadah pembelajaran bagi petani dalam meningkatkan pengetahuan dan ketranmpilannya dalam mengelola pertaniannya, (b) wadah sosialisasi program-program pembangunan pertanian ; (c) wadah penyaluran bantuan dari pemerintah, serta (d) forum komunikasi dan kerjasama antar petani anggota ; dan (e) sebagai wadah yang memperkuat social bonding, dan social bridging.. 3) Kelompok Kerja Bergilir (KKB), berperan dalam hal (a) penyediaan tenaga kerja, yang bersumber dari luar keluarga, baik tenaga kerja upahan maupun non-upahan ; (b) social bounding, dan social bridging. 8. 4. PENUTUP 8.4.1. Latihan 8 Buatlah sebuah makalah kecil sebagai sanggahan atas pokok bahasan ini. Materi sanggahannya tidak harus berurutan dan mencakupi semua point-point yang mengikuti seluruh ini makalah ini. Anda dianjurkan untuk mengembangkan kerangka pemikiran sendiri untuk membicarakan topik yang sama. 8.4.2. Petunjuk Jawaban Latihan 8. Agar materi sanggahan lebih berbobot, maka dianjurkan anda melengkapi makalahnya dengan sejumlah referensi baru yang relavan dengan topik kajian. Coba lakukan latihan ini dalam sebuah uraian yang singkat dan padat, maksimum 5 halaman ukuran A4. Silahkan berlatih. 8.4.3. Tes Formatif 8 Berilah tanda silang ( X ) pada huruf (a , b , c , atau d ) di depan jawaban yang dianggap paling tepat ! 1. Modal sosial adalah ...... (a) semua unsur dalam struktur sosial yang dapat berfungsi memfasilitasi kegiatan produktif dalam pembangunan (b) semua proses sosial yang dapat berfungsi kooperatif untuk pembangunan (c) semua unsur-unsur yang dapat mendorong perubahan sosial (d) semua jawaban benar 2. Unsur-unsur sosial berikut ini dapat diidentifikasi sebagai modal sosial menurut kriteria yang dikemukakan oleh Coleman (2008), (a) organisasi sosial (b) kelompok sosial (c) norma dan nilai sosial (d) semua jawaban benar 3. Istilah modal sosial (social capital untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh... (a ) James Coleman (b) Pierre Bourdieu (c) Aguste Comte (d) Emanuel Kant 4. Hasil studi Abdurrahman di desa Nunmafo – Kupang, bentuk-bentuk modal sosial yang berperan dalam pengelolaan agroekosistem lahan kering, antara lain adalah (a) Kelompok Kerja Bergilir (b) Kelompok Tani (c) Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nekmese (d) Semua jawaban benar 5. Ada 2 syarat utama modal sosial menurut konep Coleman, adalah ... (a) unsur tersebut melekat dalam struktur sosial dan dapat memfasilitasi kegiatan produktif (b) perangkat sosial tradisional dan bersifat dinamis (c) unsur-unsur sosial modern, dan bersifat produktif (d) semua jawaban salah 6. Peran utama Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nekmese, adalah (a) menyediakan modal pengembangan usahatani berupa uang tunia (b) menyediakan modal berupa uang tunai untuk pengembangan usaha produktif (c) media penghubung kerja sama antar anggota dan dengan pihak lainnya (d) semua jawaban benar 7. Struktur dan fungsi modal semua bentuk modal dapat disesuaikan dengan..... (a) dinamika kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat setempat (b) perubahan politik global (c) tidak bisa berubah, karena merupakan warisan tradisi (d) kepentingan reformasi yang sedang bergulir 8. Sebuah oragnisasi sosial yang dibentuk suatu tujuan tertentu....... (a) tidak dapat difungsikan sebagai modal sosial untuk tujuan lainnya (b) tidak dapat difungsikan sebagai modal sosial untuk tujuan lainnya, kecuali tujuan organisasi dirubah terlebih dahulu (c) bisa difungsikan sebagai modal sosial untuk tujuan lainnya (d) tidak dibenarkan untuk tujuan lainnya 9. Semua institusi sosial di pedesaan, dapat dikembangkan menjadi modal sosial jika... (a) strukturnya dirubah sesuai dengan tuntutan modernisasi (b) struktur dan fungsinya dapat kembangkan untuk memfasilitasi kegiatan produktif (c) fungsinya dapat mempertahankan tradisi dan budaya setempat (d) semua jawaban benar 10. Perubahan sosial dan modernisasi di pedesaan dapat berdampak pada..... (a) lahirnya bentuk modal sosial yang baru (b) punahnya bentuk modal sosial tradisional (c) perubahan struktur dan fungsi modal sosial di pedesaan (d) semua jawaban benar 8.4.4. Umpan Balik dan Tindak Lanjut Cocokanlah jawaban anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat pada bagian akhir modul ini, dan hitunglah jumlah jawaban anda yang benar. Kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda dalam materi pokok kegiatan belajar ini. Rumus Tingkat Penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar x 100 % 10 Arti tingkat penguasaan yang anda capai : 90 - 100 % = Baik sekali 80 - 89 % = Baik 70 - 79 % = Cukup 60 - 69 % = Kurang Bila anda bisa mencapai tingkat penguasaan 80 % atau lebih, maka anda dapat meneruskan kegiatan belajar ke Materi Pokok berikutnya. Akan tetapi bila tingkat penguasaan anda masih kurang dari 80 %, sebaiknya anda berusaha untuk memperbaikinya dengan mengulang kembali kegiatan belajar untuk Materi Pokok ini dan sebelumnya 8.4.5. Daftar Pustaka Abdurrahman, M. (2010), Dinamika Rasionalitas Petani dan Peran Modal Sosial dalam Pembangunan Pedesaan : Studi Kasus Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering oleh Komunitas Etnis Atoni Pah Meto di Desa Nunmafo Kabupaten Kupang. Disertasi Program Doktor Ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang . Suharto, E. 2003. Pendampingan Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin : Konsepsi dan Strategi . : http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_32.htm .

Senin, 30 Juli 2012

EKSKLUSIVISME DAN INKLUSIVISME DALAM AGAMA ISLAM

EKSKLUSIVISME DAN INKLUSIVISME DALAM AGAMA ISLAM Oleh Dr. Ir. Mustafa Abdurrahman, MP Staf Pengajar Ilmu-Ilmu Sosial pada Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana – Kupang MAKALAH Disajikan Dalam Acara DIALOG KERUKUNAN LINTAS AGAMA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR DI KEFAMENANU, 27 – 29 JULI 2010 PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR SEKRETARIAT DAERAH Jln. Raya El Tari No. 52 Telp/ Fax (0380) 820130 KUPANG EKSLUSIVISME DAN INKLUSIVISME DALAM AGAMA ISLAM Oleh : Mustafa Abdurrahman I. PENDAHULUAN Ketika untuk pertamakalinya Kitab Al – Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia, sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa di dunia ini sudah ada bermacam-macam agama. Khususnya di kota Mekkah tempat wahyu ini diturunkan, pada masa itu mayoritas penduduknya menganut kepercayaan warisan leluhur bangsa Arab, yang dalam sejarah Islam disebut kepercayaan Arab Jahilia. Dalam sebuah Hadist yang bersumber dari Zaid bin Thalha, Nabi SAW bersabda ”sesungguhnya agama Islam itu pertama-tama dalam keadaan asing...”. Tentu saja, hal ini terkait dengan pandangan dan sikap hidup umatnya yang berpedoman kepada Al-Qur’an dalam hal-hal tertentu terasa sangat jauh berbeda dengan cara hidup mayoritas penduduk pada umumnya. Sesuai dengan fungsinya, yakni sebagai pengoreksi dan penyempurna terhadap agama - agama yang ada sebelumnya, tentu saja terdapat hal-hal pokok dan spesifik dalam ajaran Islam yang bernuansa eksklusivisme, di samping adanya suasana inklusivisme dalam aspek kehidupan sosial lainnya, baik sebagai bangsa Arab khususnya maupun sebagai umat manusia pada umumnya. Konsekuensi dari koeksistensi agama dalam masyarakat Arab di kota Mekah pada masa itu, adalah para penganut agama lainnya merasa sendi - sendi eksklusivitas agamanya terusik oleh kehadiran Islam. Dampaknya, adalah timbulnya konflik demi konflik hingga akhirnya umat Islam harus ”berhijrah” ke Madinah. Hal ini tercatat sebagai peristiwa penting dalam sejarah Islam. Islam sebagai suatu agama yang memiliki ajaran yang bersifat universal dan komprehensif, tentunya mengandung unsur-unsur ajaran yang kompleks, dimana pada bagian tertentu terdapat prinsip-prinsip ajaran bersifat eksklusif, dan pada bagian-bagian lainnya lebih bersifat inklusif. Ekslusivisme yang dimaksudkan disini, adalah suatu pandangan dalam agama (Islam) yang meyakini keunggulan dari kebenaran ajaran-ajaran agama yang dianut, sekaligus menegasikan ajaran serupa dari agama lainnya, sehingga ada kecenderungan untuk melahirkan tindakan yang berbeda dan terpisah ketika berkoeksistensi dalam masyarakat plural. Sedangkan inklusivisme, atau istilah paralelisme menurut pihak lainnya, adalah suatu pandangan dalam agama (Islam), yang didasarkan pada prinsip kesejajaran, sehingga mendorong umatnya untuk menggabungkan atau menyatukan diri dengan golongan/kelompok agama lain sebagai suatu kebersamaan dalam masyarakat plural. Jadi, nuansa eksklusivisme dan inklusivisme agama selalu ada dalam kehidupan sistem sosio-religius yang pluralistik. Fakta sosial ini, memang menarik untuk didiskusikan. Sebab, dalam masyarakat plural, di satu pihak eksklusivisme sering muncul dalam wujud proses-proses sosial yang disosiatif, antara lain dapat menjadi faktor pemicu konflik sosial. Sementara adanya inklusivisme di pihak lainnya, sering muncul dalam proses-proses sosial yang asosiatif, antara lain dapat menjadi faktor perekat dalam membangun kebersamaan. Hal yang terakhir ini, juga berpotensi menjadi social bridging untuk menambal-sulam dan membangun kembali keretakan sosial akibat tindakan eksklusif yang tak terkendali diantara umat dari berbagai agama. . Dalam rangka membangun kerukunan hidup, khususnya dalam masyarakat yang pluralistis, terutama dari aspek agama, maka kegiatan dialog lintas agama mengenai dimensi-dimensi eksklusivisme dan inklusivisme dalam agama amat diperlukan. Melalui dialog ini, umat dari masing-masing agama bisa saling mengenal dimensi-dimensi eksklusivitas agama selain dari agama yang dianutinya. Dari aspek ini diharapkan adanya perubahan pandangan dan sikap antar para penganut agama yang berbeda, yakni semakin saling menghargai perbedaan dan bersikap toleran terhadap dimensi-dimensi eksklusif dalam ajaran agama pihak lainnya. Dengan cara demikian dapat menekan peluang terjadinya konflik antar umat beragama. Begitu pula dari aspek lainnya, yakni dengan saling mengenal dan memahami dimensi-dimensi inklusivitas dari pihak lainnya, diharapkan dapat membuahkan semangat persamaan dan persaudaraan, serta persatuan; karena ada rasa saling tergantung diantara sesama warga masyarakat yang berbeda agama tersebut. Singkatnya, melalui dialog tentang eksklusivisme agama diharapkan dapat meningkatkan kesadaran terhadap ”kebhinekaan” diantara sesama kita, dan dari inklusivisme dalam agama diharapkan dapat merajut ”keikaan” kita sebagai bangsa yang kaya akan budaya religius dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang bersemboyankan ” Bhineka Tunggal Ika”. 2. EKSKLUVISME DALAM AGAMA ISLAM Dari catatan sejarah Islam diketahui, bahwa masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan sosial yang berkaitan dengan eksklusivisme sudah berlangsung sejak awal ajaran agama ini diturunkan di kota Mekah. Berkenaan dengan itu dialog lintas agama, yakni antara agama Islam dengan agama lain di kota Mekah, juga sudah mulai berlangsung ketika masa hidupnya Nabi Muhammad SAW. Ternyata, materi dialog yang pernah berlangsung sejak 14 abad yang silam itu masih relevan untuk dibicarakan kembali saat ini. Diyakini pula, sampai kapan dan dimana pun dialog tentang eksklusivisme dalam Islam itu berlangsung, bila narasumbernya mengacu pada Al – Qur’an dan Al- Hadist, maka substansinya tidak mengalami perubahan. Dinamikanya mungkin hanya berada di seputar perbedaan interpretasi historis dan kultural. Bilamana kompleksitas ajaran agama Islam dipahami dalam konteks hubungan manusia, baik hubungan manusia dengan Tuhannya (hablumminallah) maupun hubungan antar sesama manusia (hablumminannas), maka ajaran yang bersifat eksklusif terutama berbasis pada teologi (tauhid), yakni berkaitan dengan hablumminallah. Di luar itu, eksklusivisme ditemukan secara terbatas pada beberapa hal saja menyangkut hubungan antar sesama manusia. Eksklusivisme berakar pada sendi (rukun) Islam yang pertama, yakni Asy-syahadatain : Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Sendi ini merupakan pintu gerbang ajaran Islam. Setiap orang yang secara ikhlas dan dengan penuh kesadarannya mengucapkan kedua kalimat kesaksian ini maka ia diakui beragama Islam. Semua perkara lainnya dalam ajaran Islam dibangun atas landasan ini. Allah, yaitu tuhan yang berhak disembah dalam pandangan Islam adalah Dia yang mengutus Muhammad, Dia yang mewahyukan kitab Al-Qur’an kepada Muhammad untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia agar menjadikannya sebagai pedoman hidup. Di dalam kitabNYA (Surah Al - Ikhlas : 1- 4) Allah menyatakan dirinya bahwa : ”Dia adalah Allah yang Maha Esa, Dia adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia”. Islam memandang semua orang yang tidak percaya kepada Tuhan yang memiliki sifat utama seperti itu, begitu pula tidak percaya bahwa Muhammad sebagai rasul Allah, termasuk ajaran yang dibawanya (Al- Qur’an), maka mereka itu disebut sebagai orang kafir, artinya pengingkar, pembangkang, atau penentang. Begitu pula, walaupun mereka yang beriman kepada Allah, namun di samping itu mereka masih juga meyakini tuhan – tuhan lainnya, maka golongan ini disebut musyrik, artinya menyekutukan Allah dengan ”sesuatu” yang lain (baik manusia, maupun bukan manusia). Sebagai konsekuensi dari kesaksian atas kalimat tauhid (Laa ilaaha illallah) : tidak ada Tuhan yang berhak disembah, adalah mengenai tata cara penyembahan kepada Allah. Sesuai dengan kalimat kesaksiannya atas kerasulan Muhammad SAW, maka orang yang bersangkutan harus melakukan ritual penyembahan kepada Allah menurut tuntunan dan teladan Muhammad Rasulullah SAW. Pandangan mengenai kekafiran dan kemusyrikan ini tidak hanya terhadap penganut agama non Islam, tetapi juga terhadap orang yang mengaku sebagai penganut agama Islam namun masih memiliki keyakinan dan tindakan dalam beribadah yang bertentangan dengan pernyataan kesaksiannya itu. Dalam aspek pluralitas sosio-religius, Islam tidak mengenal kompromi dalam masalah ketuhanan dan tata-cara penyembahannya. Dalam kontek perbedaan konsep ketuhanan, termasuk bentuk-bentuk ritus dari masing - masing agama, maka Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk bersikap saling menghargai perbedaan. Oleh karena, tidak dibenarkan untuk mencampur-adukannya seperti dalam urusan-urusan lain yang bersifat muamalat dan kemaslahatan bersama dalam hidup bermasyarakat, sehingga dimensi-dimensi teologis ini merupakan prinsip eksklusivisme dalam Islam. Dalam babak awal sejarah Islam tercatat : sebuah peristiwa penting yang menjadi landasan eksklusivisme. Bahwa ketika orang-orang kafir di kota Mekah mengajak Nabi Muhammad SAW dengan umatnya agar bersedia untuk beribadah bersama menurut cara mereka, kemudian secara bergantian akan melakukan ibadah menurut cara Islami. Atas dasar usulan ini, Nabi SAW mendapatkan konsepsi dari Allah SWT bahwa agama mereka adalah agama mereka, dan Islam adalah Islam. Keduanya tak bisa dicampur-adukkan, tetapi tak harus menimbulkan pertikaian, karena urusan kebenaran dan petunjuk hanya berada dalam kekuasaan-Nya. Peristiwa ini merupakan latar belakang sebab turunnya (asbabun nuzul ) surah Al-Kafirun ayat 1- 6 : ” Katakanlah : wahai orang-orang kafir aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah; dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah; untukmulah agamamu, dan untukku agamaku”. Ini adalah prinsip eksklusivisme, yang memisah Islam dari non Islam dalam urusan teologis dan ritual keagamaan. Sedangkan dalam aspek hablum- minannas , perlu pula dicatat beberapa hal mengenai kebutuhan hidup manusia, terutama yang lebih sering tampak ke permukaan ketika umat Islam berinteraksi dengan umat agama lainnya. Pertama, makanan dan minuman. Ajaran Islam secara tegas mengatur pengikutnya untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dan baik atau halalan- thoyyibah (Q.S. Al-Maidah, 5: 3-4, 88, 90-91). Selain terdiri dari bahan-bahan yang dibolehkan dan bergizi, juga cara untuk memperolehnya pun harus melalui prosedur yang dibenarkan oleh syara’. Misalnya, umat Islam dilarang mengkonsumsi daging babi. Semua jenis binatang lainnya yang dihalalkan antara lain seperti sapi, kambing, domba, ayam dan lain-lain juga bisa diharamkan, bila ketika disembelih tidak dengan menyebut nama Allah SWT (bismillahirrahmanirrahiim). Walaupun dari segi pemilikan, maka makanan yang diberikan oleh golongan agama lain, terutama ahli kitab adalah halal bagi orang Islam demikian pula sebaliknya (Q.S, Al-Maidah, 5 : 5), namun aspek lain, misalnya mengenai jenis makanan/minuman (babi, minuman keras, dll, ) juga masih terlihat adanya dimensi eksklusivisme. Hal ini membuat mereka merasa terpisah ketika berada dalam acara santap bersama dengan saudara-saudaranya dari umat agama-agama lainnya. Kedua, pakaian. Syariat Islam juga mengatur tata busana, yang spesifik terutama bagi kaum wanita atau muslimah (Q.S. Al-Ahzab, 33: 59). Hal ini membawa kesan ekskluvistis, ketika membaur dalam masyarakat yang mayoritas beragama non Islam. Ketiga, perkawinan. Tata cara perkawinan yang diatur dalam Al – Qur’an juga mengandung ajaran yang bersifat eksklusivistis. Umat Islam dilarang menikah dengan golongan musyrik (Q.S. Al- Baqarah, 2 : 221). Dalam kondisi tertentu golongan muslim (pria) dihalalkan untuk menikah dengan wanita baik-baik dari kalangan ahli kitab (Q.S. Al- Maidah, 5 : 5). Sedangkan bagi golongan muslimah sendiri tidak dibenarkan untuk menikah dengan pria yang beragama lain. Sebab, dalam pandangan Islam, pria (suami) menjadi pemimpin/pelindung bagi wanita (isteri) dalam rumah tangga (Q.S. An –Nisa, 4 : 34). Keempat, persahabatan. Pada dasarnya dianjurnya bergaul, bersahabat, dan membangun kerja sama dengan semua umat manusia dengan prinsip saling memberi manfaat. Namun dalam kondisi tertentu, umat Islam tidak dibenarkan untuk menjadikan umat agama lain sebagai ”sahabat setianya” (Q.S. Al-Maidah, 5 : 51), terutama misalnya ketika terjadi konflik antar agama. Sikap kewaspadaan umat Islam dalam menghadapi kondisi seperti ini, sebenarnya dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan timbulnya konflik yang lebih besar dengan dampak yang lebih luas. Dari aspek ini pun sedikit terkesan eksklusif. 3. INKLUSIVISME DALAM ISLAM Perbedaan umat manusia, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama dan sebagainya, merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Allah SWT. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Tuhan SWT, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujurat 13). Segenap manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya terus berusaha untuk memahami dan menyadari realitas ini sebagai suatu petunjuk kauniah dari Allah, Tuhan Maha Pemberi Petunjuk. Khususnya yang berkenaan langsung dengan realitas pluralitas agama dalam kehidupan bermasyarakat, Al - Qur’an memberikan pedoman yang agar tidak mempersoalkan eksistensi agama lain di samping Islam. Hal ini pun diterima sebagai suatu sunnatullah. Allah berfirman :...” Untuk setiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu amat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan” (Q.S. Al – Maidah, 5 : 48). Dengan dasar ini, jelaslah bahwa umat Islam dilarang untuk menghina dan mengganggu keberadaan agama-agama lainnya. Apalagi memaksakan agamanya harus diterima oleh pihak lainnya (Q.S. Al – Baqarah, 2 : 256). Hal ini tidak berarti kegiatan da’wah dalam Islam dihentikan. Malah sebaliknya, seruan kepada Islam tetap menjadi suatu kewajiban bagi setiap muslim sepanjang hayatnya, namun dilakukan dengan penuh ”kebijaksanaan”, apalagi hal itu dilakukan dalam rangka amar-ma’ruh dan nahi-munkar . Terhadap semua umat manusia, ajaran agama juga memerintahkan untuk selalu berbuat baik dalam segala urusan. Bahkan terhadap semua jenis makhluk lain dan lingkungan alam fisik di bumi ini pun, agama sangat melarang umatnya untuk bertindak dhalim dan berbuat kerusakan. Untuk meraih kepentingan bersama dan saling menguntungkan, Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk membangun kerja sama yang harmonis. Tentu saja semua bentuk kerja sama yang saling menguntungkan, yang dimaksudkan dalam hal ini adalah yang bisa berdampak pada peningkatan ketaqwaan, dan sama sekali tidak berakibat pada semakin meluasnya kedhaliman, kenistaan, dan kemaksiatan. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sistem sosio-religius yang pluralistis, seperti di daerah Nusa Tenggara Timur ini, maka umat Islam diharapkan lebih cerdas dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Ajaran-ajaran yang bersifat inklusif ini hendaknya ditumbuh-suburkan dalam berbagai sektor kehidupan : sosial, ekonomi, dan politik, dengan cara-cara yang bijaksana, sehingga dapat membuahkan keamanan dan kenyamanan, serta kemakmuran hidup bersama. Bila kondisi ini bisa terwujud, maka tidak berlebihan kalau dinyatakan bahwa inklusivisme Islam seimbang dengan dimensi-dimensi eksklusivismenya, sehingga koeksistensi Islam dalam masyarakat plural dapat berperan sebagai rahmatan lil ’alaamin. Bukan seperti yang didakwakan oleh berbagai kalangan sebagai agama ”terorisme, radikalisme, dan sejenisnya. 4. PENUTUP Sebagai catatan penutup dari tulisan ini, kiranya perlu untuk ditegaskan kembali beberapa hal pokok, terutama dalam kaitannya dengan tema dari kegiatan dialog kerukunan lintas agama ini. Pertama, bahwasanya Islam, sebagaimana agama-agama lain pada umumnya mengandung ajaran teologis tertentu yang spesifik, yang membedakannya dari agama yang lain. Ajaran yang dimaksud, baik secara tegas maupun secara samar-samar menyatakan kebenaran dan keunggulan pada dirinya, sekaligus menegasikan hal serupa terhadap agama atau pihak lainnya. Ini merupakan esensi eksklusivisme. Dalam Islam, ajaran-ajaran yang eksklusivistis, selain dijumpai dalam aspek-aspek teologis dan ritual, juga terdapat dalam beberapa aspek lain, yang berkenaan dengan kebutuhan hidup manusia, seperti sandang, pangan, perkawinan, persahabatan, dan sebagainya. Dalam masyarakat pluralistik, maka semua fakta sosial yang bernuansa eksklusivisme seperti ini ketika muncul dalam interaksi sosial tentunya berpotensi konflik. Melalui dialog seperti ini, sangat diharapkan agar semakin menumbuhkan semangat saling pengertian dan saling menghargai perbedaan. Perlunya kesadaran untuk menerima perbedaan agama sebagai sebuah fakta sosial yang universal. Kami berharap, agar forum dialog tentang eksklusivisme bukanlah media untuk mengkaji dan menguji, apalagi memperdebatkan kebenaran yang diyakini oleh masing-masing agama, khususnya mengenai prinsip-prinsip ajaran eksklusivisme. Akan tetapi dialog ini dimaksudkan agar kita saling mengenal perbedaan dan persamaan, meningkatkan kesadaran masing-masing pihak untuk saling menghargai dan menghormati guna membangun sikap toleransi antar sesama umat beragama. Kedua, Islam memandang keanekan-ragaman ajaran agama yang ada merupakan suatu karunia Tuhan Yang Maha Esa. Jika Tuhan menghendaki tentunya Dia menjadikannya hanya satu agama saja. Akan tetapi Tuhan tidak melakukan yang demikian itu, dengan tujuan untuk menguji manusia atas karunianya berupa agama yang telah diturunkan untuk masing-masing umat. Dalam konteks itu hendaknya semua umat berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan untuk mencapai kemuliaan. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi-Nya, adalah orang-orang yang paling bertaqwa. Pada saatnya tiba, semua manusia akan kembali ke sisi-Nya, dan Dia akan memberitahukan segala perkara agama (eksklusivisme dan inklusivisme) yang diperselisihkan oleh umat-umat beragama ketika mereka masih hidup di dunia. Dengan demikian sangat dianjurkan untuk menumbuh-kembangkan semangat kebersamaan dan kesejajaran dalam berbuat kebajikan dalam semua bidang kehidupan : sosial, ekonomi, dan politik guna mewujudkan keamanan, kenyamanan, serta kemakmuran hidup bersama. Ketiga, kiranya semua bentuk konflik yang mungkin terjadi antar umat beragama, terutama yang berkenaan dengan ekskluvisme dan inklusivisme, hendaknya diselesaikan secara bijaksana melalui proses dialog antar para pemuka agama. Untuk itu wadah-wadah berhimpun dari tokoh-tokoh agama dan pemerintah yang telah terbentuk, perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan, dan untuk segala kritik yang membangun, kami haturkan limpah terima kasih. ============================================== BAHAN BACAAN 1. Al Hasyimi, Sayyid Ahmad. 1993. Syarah Mukhtarul Ahaadist. Penerbit Sinar Baru, Bandung. 2. Departemen Agama RI. 1993. Al – Qur’an dan Terjemahannya. Kerjasama PP. Muhammadiyah dan PP. Al – Irsyad Al – Islamiyah, Jakarta. 3. Shaleh, Q. , Dahlan, A. dan Dahlan, M.D. 1987. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al- Qur’an. Penerbit CV. Diponegoro, Bandung.